26. Kata Maaf

5.8K 345 31
                                    

Rara akan segera diberikan tindakan kuretase untuk membersihkan rahimnya pasca keguguran. Rara sedikit gemetar ketika akan menjalani prosedur itu meski saat ini dia ditemani Mami, Papi dan kedua mertuanya, sedangkan Rega? Pria itu belum menampakkan batang hidungnya. Entah ke mana, tak ada satu pun yang menjelaskan keberadaan pria itu pada Rara. Mereka hanya bilang kalau Rega masih sibuk dan belum sempat menjenguk Rara. Padahal Rara benar-benar butuh Rega sekarang.

"Jangan takut," ujar Mami yang kini mengelus kepala Rara pelan sebelum Rara dibawa perawat untuk menuju ruang operasi.

Rara semakin gemetar dan takut. Entah mengapa di saat merasa takut seperti ini, dia sangat ingin Rega ada bersamanya. Dia ingin melihat Rega, ingin sosok suaminya itu ada di sampingnya sekarang, tapi mungkin itu hanyalah harapan yang tiada terwujud. Sehingga Rara merasa bahwa dia harus menyerah menunggu Rega datang padanya, menemaninya dan mengucapkan kata-kata cinta padanya.

Rara menatap sekeliling sebelum menjalani kuretase. Karena suatu kondisi tertentu Rara harus dibius total. Tak terasa air matanya menetes keluar. Dokter Rina beserta perawatnya sudah bersiap untuk melakukan prosedur kuretase. Kesadaran Rara semakin hilang ketika bius mulai bereaksi. Sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, matanya menangkap sosok pria yang tiba-tiba muncul. Lalu pria itu mengusap air matanya dan mengenggam tangannya erat.

"Re-ga...," lirihnya sebelum matanya benar-benar terpejam.

***

Rara tersadar, matanya mengerjap-ngerjap guna menyesuaikan cahaya lampu yang silau. Saat Rara benar-benar membuka mata, orang pertama yang dilihatnya adalah Papi dan Mami, bukan Rega. Jadi, sosok Rega yang datang sebelum kesadarannya menghilang saat dikuretase hanyalah ilusinya semata. Sekarang harapan Rara seolah pupus begitu saja. Rega pasti masih belum mau menemuinya. Itu dugaannya.

Papi mendekat ke bed yang Rara tempati, berdiri tepat di sebelah Mami. Keduanya kini tampak tersenyum senang melihat anak perempuannya telah bangun.

"Ada yang sakit, sayang? Mau Mami panggilkan dokter?" tanya Mami sembari mengelus puncak kepala Rara, sedangkan Rara hanya menggeleng.

"Kamu mau apa, sayang? Minum?" tanya Papi yang dijawab dengan anggukan oleh Rara. Papi pun bergegas mengambil botol air, lalu memasangkan sedotan agar Rara lebih mudah meminumnya. Rara pun duduk perlahan dibantu Mami. Dia langsung menyedot air putih yang diberikan Papi.

"Mi, Pi ... Rega ... di mana?" Rara seolah tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

"Oh iya, Rega lagi sibuk. Pasiennya banyak banget katanya." Mendengar kata-kata Mami, hati Rara benar-benar merasa terpatahkan. "Tapi sewaktu kamu dikuret, Rega nungguin kamu terus."

Hati Rara sejenak menghangat mengetahui Rega menungguinya. Jadi, yang tadi muncul di ruang operasi benar-benar Rega.

"Kamu ingin ketemu Rega? Kalau iya, Papi panggilkan. Papi akan cari dia buat kamu."

Rara menggeleng. "Enggak, Pi," dustanya.

Papi mengambil kursi kecil untuk duduk di sebelah Mami. "Kamu ada masalah apa sama Rega, Ra?" tanya Papi yang langsung membuat Mami ikut penasaran.

"Enggak ada kok, Pi."

"Bohong. Kalau nggak ada masalah, kenapa Rega sampai nggak tahu kalau kamu hamil."

"Jangankan Rega, Rara sendiri aja nggak nyadar kalau Rara lagi hamil."

"Makanya Papi sama Mami makin curiga kalian lagi ada masalah. Mami dan Papi emang nggak berhak ikut campur urusan rumah tangga kamu,, tapi bagaimana pun kamu itu anak Mami dan Papi. Setiap ada sesuatu sama kamu, Mami dan Papi khawatir," jelas Mami.

Erlebnisse (Re-Publish) ☑Место, где живут истории. Откройте их для себя