07. Dua Kesepakatan

2K 276 28
                                    

Lagi mood ngetik :) beri selamat dong.
~
~
~
~
~

"Apa kabar, Jin?", tanya sang ayah setelah hening yang cukup lama.

Teh hangat yang Seokjin hidangkan pun sudah berubah dingin karena tak tersentuh sama sekali. Canggung masih menyelimuti suasana didalam cafe Seokjin.

Setibanya Seokjin di cafe, ia sudah mendapati ayahnya duduk disalah satu meja pelanggan dengan wajah datar seperti saat Seokjin meminta izin pergi ke korea untuk menuntut ilmu 7 tahun lalu.

"Aku baik", jawab Seokjin singkat sembari menunduk serta tangannya sibuk meremat kain celananya untuk menghilangkan gugup.

"Gede juga ya cafe kamu", ucap sang ayah lagi sembari menyesap teh dinginnya. "Gimana skripsi? Kapan wisuda?", lanjutnya setelah meletakkan cangkir setengah kosong itu di piringnya kembali.

Seokjin hanya diam, dia tak bisa berkata apa-apa kalau seperti ini.
Ia sudah lari dari tanggungjawabnya untuk menepati Janjinya. Apa yang harus dia jawab.

"Kenapa diem? Liat muka ayah kalo ayah lagi ngajak ngomong! Kemana sopan santun kamu?!",

Seokjin tersentak kaget lalu mendongak menatap wajah marah sang ayah dengan takut.

"S-skripsiku udah setengah jalan.. t-t-tapi, dosen pembimbingku tiba-tiba di transfer ke luar kota buat pertukaran pengajar, j-jadi.. aku harus nyari lagi", bohong Seokjin.

Ayah Seokjin menampakkan raut wajah tak percaya pada keterangan Seokjin.
"Ta-tapi aku udah nemu gantinya.."  sambung Seokjin untuk meyakinkan ayahnya.
Kemudian ayahnya mengangguk seolah olah percaya pada perkataan Seokjin.

Seokjin bernafas lega setelahnya, tanpa tau kalau ayahnya sudah mencari info terlebih dulu perihal perkembangan Seokjin di kampus 7 tahun ini. Yang itu artinya, ayahnya pun tau kalau Seokjin tengah berbohong padanya,

'Kamu pikir ayahmu ini bodoh atau bagaimana, huh?' Batin sang ayah meremehkan.

"Kalau begitu panggil dia kesini, ayah mau tanya langsung sama dia", titah sang ayah sembari mengambil cangkir tehnya kembali.

Mata Seokjin membulat, ia hampir saja mengumpat karena terkejut.
Seokjin bahkan tak sempat memikirkan siapa 'dosen pembimbing'nya itu, dia hanya bicara omong kosong tadi tapi ayahnya malah pengen ketemu sama dosennya.

Seokjin pun terpaksa mengiyakan karena ia tak ada pilihan, kalaupun dia membuat alasan lain yang ada ayahnya malah tambah curiga. Jadilah Seokjin dengan segala ke-clueless-annya merogoh saku celananya lalu mengambil ponsel untuk menghubungi si dosen pembimbingnya itu.

Tapi siapa yang akan jadi dosennya?

Ia memang punya sederet nama dosen di kontaknya untuk ia hubungi kapan saja karena dosennya lah yang menawarkan kalau mereka akan siap kapan saja ketika Seokjin ingin menggarap skripsinya. Tapi, tentu saja mereka semua mengharapkan imbalan dari Seokjin berupa status pernikahan. Hell No! Membayangkannya saja sudah membuat Seokjin pusing.
Seokjin men-scroll lagi daftar kontak yang tersimpan di ponselnya sembari menimbang-nimbang siapa yang bersedia menjadi dosen-dosenannya tanpa mengharapkan imbalan yang membuat Seokjin pusing.

Scroll

Scroll

Scroll

"Nyari kontak ko lama banget, kamu bohong ya sama ayah?", tanya sang ayah dengan nada menggoda karena melihat raut wajah Seokjin yang panik serta telinganya yang berubah lebih merah setiap menitnya.

"A-aku gak bohong kok! Cuma nama dianya aja yang pasaran jadi susah nyari kontaknya!",

Satu lagi kebiasaan Seokjin ketika panik dan gugup. Menaikan nada bicara pada siapapun. Tapi tenang, ayahnya sudah faham dengan yang satu ini jadi dia biasa saja.

KITA [NamJin]Where stories live. Discover now