chapter 2

445 41 0
                                    

Karena sejatinya, manusia bukanlah sosok yang tepat untuk disemati kata sejati.

~•~

Luna pagi ini bangun lebih pagi dari biasanya. Dia tidak mau lagi naik bus. Cukup kemarin saja. Dia tidak mau lagi berdesak-desakan dalam keadaan berdiri. Rasanya melelahkan sekali. Apalagi harus mencium aneka bau parfum yang bertarung dalam satu ruang, rasanya membuat kepalanya nyut-nyutan dan perutnya serasa diaduk––mungkin akan sedikit berbeda kalau dia mendapatkan tempat duduk. Tapi yah, sudah dipastikan dia tidak akan dapat kursi lagi kalau naik bus. Lagian akan keenakan sekali kakaknya kalau tidak mengantarkannya ke sekolah; itu artinya jatah tidur kakaknya akan bertambah.

Usai mandi dan mengenakan seragamnya, Luna menghampiri mamanya di dapur. Indra penciumannya mencium aroma yang sangat menggugah selera saat dia tiba di tengah anak tangga. Hal yang membuat suasana rumah terasa hidup di pagi hari adalah aroma masakan. Dengan derap langkah pasti, Luna menghampiri sumber dari aroma yang menggugah cacing-cacing di perutnya.

"Widih, baunya harum banget, Ma." Luna memeluk mamanya dari belakang, membuat mamanya tersentak kaget. Sedetik kemudian senyum beliau mengembang.

"Iya dong. Tumben kamu jam segini udah rapi aja?"

Luna melebarkan senyumnya.

"Luna nggak mau naik bus sekolah lagi, Ma. Jadi Luna bangun pagi biar bisa bangunin Kak Pota, tahu sendiri Kak Pota kalau tidur kaya kebo." Luna mengerucutkan bibirnya kesal. Membuat mamanya tergelak.

"Ya sudah, kamu bangunin Kak Pota, gih! Mama mau nyiapin sarapan dulu."

Luna hormat layaknya prajurit kepada komandannya. Lalu berderap menuju kamar Kak Pota yang berada di lantai atas. Tepatnya berada di sebelah kamarnya sendiri. Kamar Luna, Kak Pota dan juga Kak Srean sebenarnya berjejer. Kamar Luna berada di tengah, diapit oleh kamar kedua kakaknya. Sedangkan kamar mamanya ada di lantai bawah. Luna hidup berempat dengan mamanya dan kedua kakaknya. Papanya Luna meninggal saat Luna masih kecil. Tepatnya saat Luna masih berusia tujuh tahun. Sebuah kecelakaan mobil yang dialami papanya dulu membuat Luna, mama, dan juga kedua kakaknya harus rela ditinggalkan sang papa ke tempat yang tak mampu lagi mereka jangkau.

Lalu kedua kakak Luna berusaha mati-matian untuk menggantikan peran papanya dalam berbagai hal untuk Luna. Agar Luna tidak merasa kehilangan kasih sayang seorang papa. Kakak Luna mati-matian menjaga Luna, meski kadang sikapnya terlalu berlebihan, tapi Luna mengerti, itulah cara kedua kakaknya untuk menjaganya dan menyayanginya.

Sesuai perjanjian yang sudah ditentukan, Senin sampai Rabu adalah jatah Kak Pota yang mengantar Luna––yah meski saat pulang tetap Kak Srean yang menjemput karena Kak Pota harus kerja. Jadi Luna langsung menuju kamar kakak pertamanya itu. Kamar kedua kakaknya tidak boleh ada yang dikunci, karena Luna tidak mau kalau ada perlu dengan kedua kakaknya harus gedor-gedor pintu. Peraturan itu tidak berlaku untuk kamar Luna, kamar Luna akan selalu Luna kunci, kalau kedua kakaknya ada perlu dengannya harus gedor-gedor pintu dan memohon kepadanya.

Luna berdecak saat melihat betapa berantakannya kamar kakak pertamanya itu. Selimut, bantal, dan guling terjatuh di lantai. Posisi tidur kakaknya tidak beraturan. Luna yakin jika kakaknya tidur dengan seseorang maka orang itu sudah dipastikan kena tendangan maut kakaknya saat sedang tidur.

"KAAAKKKKKKKKK POTAAAAAAAATOOOOO!" Luna berteriak tepat di telinga kakaknya. Membuat sang empunya terlonjak kaget dengan mata mengerjap, mengumpulkan kesadarannya dan berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Luna tersenyum lebar. Teriakannya memang luar biasa.

"Kamu apa-apaan, sih, ganggu tidur Kakak tahu nggak...." Kak Pota menatap adiknya dengan wajah nelangsa, "minta antar sama Srean, Kakak ngantuk berat," sambungnya kemudian, hendak membaringkan tubuhnya kembali, tapi buru-buru Luna cegah dengan menarik tangan kakaknya.

Eccedentesiast [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang