chapter 26

101 18 0
                                    

Breathin' but I've been dyin' inside

Nothin' new and nothin' feels right

Dejavu so I close my eyes

Let the demon sing me a lullaby

Day6

~•~

Hidup hanyalah sebuah keteraturan dari datang dan pergi, ada dan tiada. Untuk siapa saja yang datang, akan ada masanya kepergian adalah suatu keharusan. Dan untuk apa pun yang ada, sudah pasti suatu saat akan menemui titik ketiadaan. Namun, di antara itu semua hanya ada satu kuncinya; mencoba bertahan, atau mempertahankan. Sebelum seseorang benar-benar pergi, pasti orang itu sudah cukup lama untuk bertahan atau dipertahankan. Dan untuk orang-orang terdekatnya, sudah seharusnya mempertahankan sebelum mereka benar-benar kehilangan dan disapa oleh ketiadaan orang terdekatnya.

Catu berada di titik itu. Dia mati-matian bertahan untuk dirinya sendiri, dan mempertahankan orang-orang yang mengalami hal sama dengannya. Kadang, seseorang memilih diam saat melihat orang lain menderita. Mereka memilih abai. Mengucapkan kalimat syukur atau makian. Syukur karena mereka tidak berada di posisi sama, dan makian karena mereka merasa orang-orang yang berada di titik rendah adalah orang tidak pandai bersyukur. Tidak apa. Orang tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk tetap berpikir baik, atau berempati. Biarkan mereka berpikir sesuai dengan jalan pikirannya masing-masing.

Catu menghela napasnya. Dia selalu menghabiskan waktu malam untuk merenung, berdiam diri, menatap malam dengan tatapan kosong seraya memikirkan apa saja yang terlintas di otaknya hingga menjelang pagi. Catu tidak tahu mengapa, tapi itu adalah rutinitasnya dari dia kecil. Catu jarang bisa tidur saat malam. Baginya, malam terlalu sayang kalau dilewatkan dengan tidur. Pemandangan malam itu adalah sebuah keindahan. Catu bisa mendapatkan ketenangan saat malam hari. Dia seakan merasa dunia sedang beristirahat sejenak dan memberinya kedamaian yang tiada terkira. Itulah mengapa, saat di sekolah Catu lebih sering tidur di kelas. Karena faktanya dia memang tidak pernah tidur saat malam hari.

Entah mengapa, Catu jadi teringat ucapan Luna dulu. Bahwa Luna ingin suatu saat mereka berdua nongkrong di rooftop sambil menikmati keindahan malam. Senyum tipis langsung tersungging di bibirnya.

Ah, Luna. Luna adalah seseorang yang Catu akui sebagai sahabatnya. Sahabat yang hadirnya mampu mengisi hari-hari Catu. Bahkan Luna memiliki arti lebih dari itu untuk Catu. Juga, Luna itu ibaratnya bulan––karena faktanya arti namanya memang itu––dan Catu adalah matahari yang bisa membuat bulan bersinar terang saat malam hari. Karena, bisa Catu duga jika saja Catu tidak mengenal Luna, Luna sudah pasti memilih sendiri daripada bergaul dengan teman-temannya yang lain. Luna lebih suka dengan dunianya sendiri. Untuk itu, Catu hadir, membuat Luna tidak sendirian lagi. Catu memperkenalkan Luna dengan anggota DaySix yang lain, dan sesederhana itu, kedekatan mereka terjalin hingga saat ini.

Bohong jika Catu tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Luna. Dan bohong juga jika dia tidak menyadari bahwa Luna memiliki perasaan lebih juga terhadapnya. Namun, biarlah semuanya seperti itu. Karena Catu tidak ingin persahabatan di antara mereka dan anggota DaySix yang lain menjadi renggang hanya karena urusan perasaan.

Catu tahu, bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki perasaan lebih terhadap Luna. Catu tahu betul bahwa anggota DaySix yang lain juga memiliki perasaan yang sama. Apalagi Januar. Catu bisa melihat bagaimana cara Januar menatap Luna. Bagaimana Januar yang diam-diam tersenyum tipis saat melihat Luna tengah merajuk atau sedang kesal dengan anggota DaySix. Dan Catu berusaha kuat untuk tetap menjaga persahabatan mereka. Mengesampingkan ego untuk menjadikan Luna lebih dari sekadar sahabat. Karena Catu tahu, dan sering mendengar tentang persahabatan yang hancur karena masalah cinta.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now