chapter 10

191 40 3
                                    

I wanna go back on the time

where everything was still fine.

~•~

Yang Luna ingat, dulu sewaktu dia masih kecil––tepatnya saat papanya belum pergi meninggalkannya ke tempat yang tak lagi mampu Luna jangkau––papanya adalah seseorang yang sangat penuh kasih sayang. Maksudnya gini, dulu saat Luna masih kecil, tepatnya saat masih berumur lima tahun, Luna pernah meminta izin kepada mamanya untuk hujan-hujanan saat hujan pertama datang. Mamanya tentu saja tidak memperbolehkannya. Karena hujan pertama itu diyakini membawa sumber penyakit. Luna menangis,  tetap ngotot minta hujan-hujanan. Mamanya sampai bingung harus bagaimana untuk membujuk Luna. Sampai akhirnya papanya menghampiri Luna dan mama di teras rumah. Papanya membawa payung dan jas hujan mini milik Luna. Lalu papa menggeleng kepada mama, memberi kode untuk menyerahkan masalah Luna kepada papa. Hingga akhirnya mamanya Luna menghela napas, lalu mengangguk.

"Luna mau hujan-hujanan?" Papanya bertanya lembut, yang dijawab anggukan kepala antusias oleh Luna.

Luna senang bukan main, setelah merajuk pada mamanya cukup lama, tetapi tetap saja tidak diperbolehkan, dan bak malaikat, papanya datang dan mengajaknya hujan-hujanan.

"Kalau mau hujan-hujanan ada syaratnya, Luna pakai dulu jas hujan ini." Papanya menyerahkan jas hujan bening––transparan––kepada Luna. Luna menerimanya dengan suka cita. Mama Luna menghela napasnya, lalu mendekat ke arah Luna, dan memakaikan jas hujan mini itu ke tubuh Luna. Setelah jas hujan terpakai dengan apik di tubuh Luna, Luna langsung memeluk papanya seraya tersenyum lebar. Papa mencubit pipi Luna dengan gemas, membuat Luna semakin melebarkan senyumnya.

Berkat papanya, Luna akhirnya bisa hujan-hujanan saat hujan pertama datang. Ya, meski tidak bisa dikatakan hujan-hujanan betulan. Karena meskipun Luna sudah memakai jas hujan, tapi Luna tetap berlindung di bawah payung lebar warna-warni milik papanya.

Namun, setidaknya Luna bahagia. Luna merasa hal itu sudah cukup baginya. Karena dia masih bisa tertawa riang, bermain genangan air di atas rerumputan. Menertawakan papanya saat papanya hampir saja jatuh terpeleset.

Dulu, kebahagiaan Luna memang sesederhana itu.

Gemuruh guntur menyeret Luna kembali dari ingatannya tentang masa lalu. Luna menghela napasnya. Ada sesak yang menyeruak dalam rongga dadanya. Dia rindu papanya yang sudah dia anggap sebagai malaikat penolongnya. Dia rindu senyuman penuh kelembutan milik papanya. Dia rindu dengan ciuman yang mendarat di keningnya saat dia hendak tidur, dan juga dia rindu dengan ucapan, "Selamat malam, bidadari kecil papa. Jangan takut dengan malam, malam itu baik, malam itu penuh keindahan. Nama kamu Luna, dan Luna itu artinya bulan. Jadi, Luna adalah salah satu bagian penting dalam malam."

Sejak kecil Luna memang sudah dilatih untuk tidur sendiri. Luna awalnya takut, takut ada monster malam, atau sesuatu yang mengerikan seperti yang ada di imajinasinya. Namun, papanya selalu mengatakan kalau malam itu baik, malam itu bagian dari Luna––karena nama Luna artinya adalah bulan––dan malam itu penuh keindahan, jadi tidak perlu ada yang Luna takuti. Semenjak saat itu, Luna tidak lagi takut. Dan yah, nama Luna juga pemberian dari papanya, karena papanya sangat menyukai rembulan.

Hujan di luar menderas. Luna masih belum beranjak dari balkon kamarnya. Malam ini dia ingin menenangkan diri bersama hujan. Hatinya sedang diliputi berbagai macam perasaan yang tidak mampu dia jelaskan. Dia berpegangan pada pembatas besi yang dingin. Matanya terpejam, menghirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Namun, masih tetap terasa sakit, terasa ganjil, dan terasa mengganggu.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now