chapter 3

321 37 2
                                    

“Iya, memang setiap orang memiliki masalah. Namun, tidak seharusnya kita mengatakan masalah kita lebih besar dari orang lain. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal seseorang. Bisa jadi orang yang selama ini kita kira kenal luar dalam, adalah orang yang sama sekali tidak kita kenali di sisi lain.”

Catu Aksara Disenja

~•~


Seperti biasa hampir dari jam pelajaran pertama dimulai hingga menjelang istirahat tiba, yang dilakukan oleh Catu hanyalah tidur. Guru-guru seakan sudah kehabisan akal. Ada yang terang-terangan menegur atau bahkan memberi hukuman, pun ada yang hanya membiarkan Catu tidur dengan nyenyak asal tidak menganggu jam pelajarannya. Toh, saat Catu dibangunkan lalu disuruh mengerjakan soal di papan tulis, Catu selalu bisa, padahal dia tidak pernah mendengar yang sudah diterangkan oleh guru. Entah terbuat dari apa otak Catu. Tidak pernah ada yang tahu. Kalau kata Catu, sih, titisan Albert Einstein, katanya.

"Bangun woii, ngapain kek, jangan tidur mulu." Luna menggoyang lengan Catu. Berharap Catu segera bangun dari tidurnya. Masalahnya entah kenapa mood Luna lagi buruk. Jadi dia butuh teman untuk sekadar ngobrol, tapi sayangnya Catu terlalu nyaman dengan alam bawah sadarnya. Membuat mood Luna semakin buruk saja.

"Tutu, bangun woi, ajakin gue ngobrol gitu. Males nih dengerin guru. Lagi nggak mood belajar gue."

Luna mendengkus. Jangan tanya kenapa Luna memanggil Catu dengan panggilan Tutu. Itu panggilan sayang Luna untuk Catu. Catu sendiri suka memanggil Luna dengan panggilan bidadari turun dari pohon toge, kadang biar gampang disingkat Catu menjadi Toge saja. Luna jelas keberatan, dia mendiamkan Catu selama seharian, akhirnya Catu minta maaf, dan tetap memanggil Luna dengan nama Luna, kalau lagi khilaf saja manggilnya bidadari turun dari pohon toge.

Karena kesal, Luna memilih menjatuhkan kepalanya di meja. Tidak peduli dengan penjelasan guru yang ada di depan. Kalau Luna ketiduran, salahkan saja gurunya, karena menjelaskan materinya sangat pelan, mendayu-dayu, padahal guru pria. Pak Tono namanya. Tapi ya begitu, terlalu kalem orangnya.

Luna mengamati rambut Catu. Rambutnya Catu hitam gelap. Sama seperti sorot mata milik Catu yang segelap malam. Membuat siapa saja jika memperhatikannya akan terpikat. Termasuk Luna.

Tangan Luna terulur untuk menyentuh rambut Catu.

"Ngapain pegang-pegang, iya gue tahu rambut gue wangi, nggak kayak rambut lo!"

Luna buru-buru menarik tangannya. Sial sekali. Pasti Catu jadi ke-geer-an.

Catu mengubah posisi kepalanya, yang mulanya menghadap tembok, kini menghadap Luna. Luna juga masih dengan posisi kepalanya di atas meja. Menatap iris mata Catu yang segelap malam, mampu membuat Luna terdiam, seakan ikut larut dalam sorot matanya Catu.

Karena Luna menatapnya tanpa berkedip, hal itu membuat Catu memonyongkan bibirnya ke arah Luna.

Luna mendorong kening Catu ke belakang. Menciptakan suara beradunya kepala dengan tembok. Lalu diikuti ringisan pelan milik Catu.

"Gila lo, penting nih isi kepala!" Catu langsung terduduk seraya mengusap kepalanya. Menatap Luna dengan tatapan terluka.

"Salah sendiri tuh bibir ngapain coba monyong-monyong gitu, geli lihatnya." Luna menjawab lirih, sesekali menatap Pak Tono yang masih sibuk mencatat di papan tulis.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now