chapter 19

85 18 0
                                    

So tell me, where shall I go?

To the left, where nothing's right?

Or to the right, where nothing's left?

Anonymous

~•~


Luna terdiam, menatap jalan raya dengan tatapan kosong. Langit sedang menumpahkan air hujan. Membuat jalanan tampak berkabut. Beberapa pengendara memilih berhenti di pinggir jalan untuk memakai jas hujan, beberapanya lagi memilih untuk berteduh di tempat yang bisa digunakan untuk berteduh. Dan beberapa yang lain memilih untuk menerjang air hujan.

Pikiran Luna melayang, mengingat kata-kata yang diucapkan Catu tadi di sekolah. Entah mengapa, Luna merasa ada sesuatu yang disembunyikan Catu darinya. Luna jadi ingat bagaimana Luna tanpa sengaja mendapati Kesya yang sering mencuri-curi pandang ke bangkunya akhir-akhir ini. Dan bagaimana Catu yang diam-diam juga memperhatikan Kesya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa saat Luna menatapnya.

Apakah ada sesuatu antara Catu dan Kesya?

Pertanyaan itu mengganggu otak Luna sejak tadi. Karena faktanya Luna baru menyadari kejanggalan itu saat Catu mengatakan kalimat tadi. Kalau saja Catu tidak mengatakan kalimat yang membuat pikiran Luna terganggu hingga sekarang, mungkin Luna tidak akan pernah menyadari ada sesuatu di antara mereka.

"Lo nggak ada niatan buat berteman dekat dengan Kesya?"

Berteman dekat? Apa maksudnya? Bukannya Catu tahu kalau Luna tidak semudah itu berteman dengan seseorang? Catu juga tahu bagaimana persahabatan Luna dulu di masa SD dan SMP. Lalu, mengapa Catu bisa berkata seperti itu?

"Apa jangan-jangan Catu pacaran sama Kesya?" batin Luna pilu.

Rasanya seperti ada yang patah dalam hati Luna. Sakit. Namun, tak kasatmata. Sesak sekali rongga dadanya. Yah, meskipun belum jelas seperti apa sebenarnya, tapi dilihat dari tingkah Kesya dan Catu akhir-akhir ini seakan menunjukkan kalau memang ada sesuatu di antara mereka.

"Nggak ada niatan mau beli makan atau apa?"

Pertanyaan dari Kak Srean membuat pikiran Luna tentang Catu dan Kesya jadi buyar. Luna mengembuskan napas pelan, tanpa menoleh ke arah Kak Srean.

"Terserah."

Sejujurnya, Luna juga tidak ingin cepat-cepat sampai di rumah. Karena sudah dipastikan Risa ada di rumahnya bersama dengan mamanya. Luna belum terbiasa melihat pemandangan itu. Jadi, alangkah lebih baiknya dia mampir ke mana dulu, asal tidak langsung pulang.

"Mampir makan bakso dulu aja." Luna buru-buru mengatakan kalimat itu. Takut kalau kata 'terserah' darinya tadi berakibat Kak Srean mengajaknya langsung pulang.

"Oke." Kak Srean menjawab singkat. Setelahnya hanya hening. Tidak ada yang kembali membuka suara. Itu lebih baik, karena Luna bisa leluasa mendengarkan tetes hujan yang jatuh menghantam atap, maupun kaca mobil. Sebelum akhirnya mobil yang dikendarai Kak Srean berbelok ke salah satu kedai bakso yang cukup terkenal. Bakso lava.

Kak Srean memberikan Luna payung lipat yang yang selalu ada di mobil sebelum Luna membuka pintu mobil.

"Kamu pake ini, jaraknya lumayan soalnya," kata Kak Srean sambil menyerahkan payung itu. Jarak parkir mobil Kak Srean dengan teras kedai memang cukup jauh.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now