chapter 4

263 33 8
                                    

Lebih baik diam daripada menjelaskan, karena mereka bisa saja mendengar, tapi belum tentu bisa mengerti.

~•~

Luna mengira jika keesokan harinya hubungan antara Rika dan Kesya membaik. Namun, faktanya tidak. Mereka berdua seakan seperti orang asing. Duduk satu bangku, tapi sama-sama diam. Kesya sibuk dengan dunianya sendiri, begitu juga Rika.

Kelas sedang jam kosong karena gurunya berhalangan hadir. Sebagian siswa menghabiskan waktu dengan belajar, membaca buku paket yang tebalnya luar biasa. Sebagian lagi sibuk dengan ponsel, juga ada yang sibuk bercerita. Kalau Catu jangan ditanya, sudah pasti dia tidur. Luna yakin kalau sebenarnya Catu sekolah hanya untuk numpang tidur.

Luna masih mengamati Kesya dan Rika. Kebetulan sekali bangku mereka berdua berada di samping barisan bangkunya Luna, lebih tepatnya di depan bangku yang ada di sampingnya Luna. Intinya, bangku Kesya dan Rika berada di nomor dua dari belakang, yang mana barisan bangkunya di sampingnya Luna. Jadi Luna bisa diam-diam mengamati mereka.

Sebenarnya Luna tidak sekepo itu dengan urusan orang lain. Hanya saja, kata-kata Catu kemarin benar-benar mengganggunya. Kalau dipikir memang benar, di sini Rika memang egois. Tidak seharusnya Rika mengatakan hal itu, entah Rika tujuannya bercanda atau apa, tapi Kesya menganggapnya serius. Lagian selama yang Luna tahu, Rika terlihat sering curhat kepada Kesya. Tapi kebalikannya dengan Rika, Kesya justru tidak pernah curhat kepada Rika.

Ah, gara-gara si Rika, Luna harus mengingat kembali masa-masa SMP-nya. Sama persis. Si Rika sukanya hanya curhat, tapi tidak mau dicurhati balik. Sama kayak sahabat––gadungan––Luna dulu.

Seharusnya Rika minta maaf, kalau menurut Luna, tapi ya karena bisa dilihat Rika adalah tipe orang yang nggak mau ngalah. Jadi mereka saling diam seperti itu. Mungkin Kesya juga sudah capek karena selalu mengalah.

Rika terlihat menghela napasnya. Sebelum akhirnya dia mulai membuka suara.

"Lo mau kita diam kayak begini terus?"

Kesya tidak menjawab ucapan Rika. Dia sibuk membaca buku paketnya.

"Lo nggak mau cerita sama gue kalau emang lo ada masalah?" Rika bertanya sekali lagi.

Giliran Kesya yang menghela napas. "Udah lupain aja," jawab Kesya.

"Lo bisa cerita ke gue kalau lo ada masalah.." Rika belum juga menyerah untuk bertanya pada Kesya tentang masalah yang Kesya alami, entah beneran peduli atau hanya sekadar kepo alias ingin tahu, Luna tidak tahu.

"Nggak, udah lupain aja soal kemarin. Anggap aja nggak terjadi apa-apa."

Rika mendesah kecewa, kecewa karena gagal menjadi sahabat yang seharusnya dipercaya untuk menjaga rahasia, atau kecewa karena rasa ingin tahunya tidak terjawab. Lagi-lagi Luna juga tidak tahu.

"Oke." Akhirnya jawaban itu muncul dari mulut Rika.

Luna tersenyum miring. Bahkan Rika tidak meminta maaf karena omongan dan sikapnya kepada Kesya kemarin. Kalau memang Rika sepeduli itu, seharusnya Rika meminta maaf atas kata-kata dan sikapnya yang mungkin membuat Kesya sakit hati kemarin. Namun faktanya, Rika memang tidak benar-benar sepeduli itu.

Persis. Persis yang Luna alami dulu. Ya, sahabat––gadungan––Luna dulu juga seperti itu. Seenaknya sendiri. Setiap hari curhat. Tapi kalau yang lain curhat, malas sekali mendengarkan. Sebenarnya juga bukan hanya di SMP aja, di SD juga Luna memiliki sahabat musiman. Begitu SMP juga sudah seperti orang asing. Apalagi sekarang. Memang pada dasarnya jarang ada, atau bahkan memang tidak ada yang namanya sahabat sejati, kebanyakan saat terpisah ruang dan waktu semuanya sudah berakhir begitu saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now