chapter 17

105 17 0
                                    

Sometimes best memories make you sad,

because you know they won't happen again.

~•~

Luna menatap mamanya yang sedang memangku Risa––calon adiknya Luna––dengan tersenyum tipis. Menghela napas dengan samar, Luna berusaha mengusir pikiran yang mulai berdatangan di otaknya. Dia berusaha meyakinkan diri sendiri. Lihatlah, Risa bisa tertawa bahagia berkat mamanya Luna. Risa yang dari pertama lahir tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, dan sekarang Risa merasa seperti menemukan kasih sayang seorang ibu dari mamanya Luna. Luna harus ngerti itu.

Harus Luna akui, Luna tidak mudah akrab dengan orang lain, sama anak kecil sekalipun. Dengan Risa misalnya, Luna juga sama sekali tidak dekat meski Luna tahu sebentar lagi Risa akan menjadi adiknya. Apalagi dengan Om Dika, malah tidak sama sekali. Luna bingung harus bagaimana untuk membuka pembicaraan di tengah kecanggungan. Luna bisa pusing tujuh keliling hanya untuk memikirkan kata apa yang hendak Luna ucapkan untuk membuka obrolan. Oleh karena itu, dia lebih sering menjawab pertanyaan daripada melemparkan pertanyaan. Dia akan menjawab ucapan basa-basi dengan senyuman, atau jawaban ala kadarnya.

"Kamu ajak Risa main, Lun. Biar Risa bisa semakin dekat juga dengan kamu." Mamanya Luna menyuruh Luna untuk mengajak Risa bermain.

"I––iya, Ma." Dengan pelan Luna mendekat ke arah Risa, bermaksud menggendong Risa. Namun, Risa malah menggeleng kuat, lalu menyembunyikan wajahnya di leher mamanya Luna. Luna hanya mampu meringis.

"Nggak apa-apa, Risa. Sama Kak Luna mau diajak jalan-jalan tuh!" Mamanya Luna berupaya untuk membujuk Risa, tetapi Risa benar-benar tidak mau. Risa tetap menggeleng kuat, menyembunyikan wajahnya di leher mamanya Luna. Risa seakan-akan takut melihat Luna, seperti melihat penculik, padahal wajah Luna tidak ada tampang kriminalnya.

"Risa takut sama kamu. Ya sudah, Mama mau ngajak Risa jalan-jalan di halaman belakang rumah."

Luna mengangguk, lalu membiarkan mamanya keluar rumah dengan menggandeng tangan mungil milik Risa. Luna menghela napas, dia memang tidak berbakat dalam memikat hati anak kecil. Entah sama anak teman mamanya, sepupu atau siapa saja. Kalaupun Risa mau jalan-jalan bersamanya, Luna juga akan bingung harus melakukan apa. Mungkin di sepanjang mereka berjalan-jalan hanya akan ada hening. Luna membisu, Risa bahkan takut setengah mati, mungkin.

Risa dari tadi pagi memang sudah ada di rumah Luna. Katanya, mamanya Luna memang pengen bersama Risa seharian ini. Biasanya Risa tetap di rumahnya Om Dika saat Om Dika sedang bekerja, diasuh oleh baby sitter-nya. Namun, untuk hari ini, kata mama biar Risa terbiasa di sini, toh sebentar lagi Risa juga akan tinggal di sini, bersama Luna juga, tentunya.

Dengan langkah lunglai Luna naik ke lantai atas, bermaksud kembali ke kamarnya. Di setiap telapak kakinya menapaki anak tangga, Luna menggelengkan kepala, mengusir pikiran yang akhir-akhir ini selalu bertamu di otaknya.

Pernikahan antara mamanya Luna dengan Om Dika diadakan tepat setelah Luna selesai melakukan UAS. Tepat hari Minggu. Mungkin mamanya Luna tidak mau membuat pikiran Luna jadi sedikit terganggu jika pernikahannya diadakan sebelum Luna UAS. Namun, mamanya tidak pernah sadar, meskipun hari pernikahannya diadakan setelah UAS, tetap saja itu sangat mengganggu pikiran Luna. Bahkan dari jauh-jauh hari perkara ini sudah sangat menggangu Luna. Entah sebelum UAS, maupun setelah UAS, sama saja bagi Luna. Sama-sama menyakitkan.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now