chapter 15

152 23 0
                                    

There's a calmness to the air outside

Watch the sun color the sight of a morning sky

But all I see are clouds of darkest gray

A full eclipse to veil the start of another day

Avenged Sevenfold

~•~


Memang benar, hampir setiap anak kecil ingin sekali cepat-cepat menjadi orang dewasa. Tanpa tahu bagaimana runyamnya dunia orang dewasa. Sedangkan saat kedewasaan hendak menyapa, mereka berpikir masa kecil adalah masa yang paling membahagiakan. Saat masih kecil tidak perlu berpikir aneh-aneh, dunianya selalu dipenuhi oleh hal-hal membahagiakan, pikirannya hanya dipenuhi hal-hal sederhana, paling banter mungkin hanya puyeng mikirin PR Matematika, atau mainan kesukaan hilang. Bisa pusing tujuh keliling. Hanya itu. Kebahagiaan juga tercipta dari hal-hal sederhana. Itu adalah hal yang dialami hampir semua anak kecil.

Well, mungkin hampir setiap orang memang mengalami hal seperti itu. Mengalami fase itu. Seperti Luna yang baru merasakannya akhir-akhir ini. Atau lebih tepatnya sudah dari waktu yang cukup lama, tapi baru-baru ini adalah puncaknya.

Luna rindu masa kecilnya. Luna rindu dengan hal-hal yang dia lakukan di masa kecil. Luna rindu dengan tawa riangnya saat bermain bertiga bersama Kak Pota dan Kak Srean. Luna masih ingat dulu Luna dan kedua kakaknya pernah bermain petak umpet bersama, berakhir Luna menangis karena tidak bisa menemukan kedua kakaknya––yang ternyata kedua kakaknya malah sibuk menggerogoti buah jambu di atas pohon yang tumbuh di halaman belakang rumah. Kak Pota dan Kak Srean langsung kalang kabut saat Luna menghampiri mereka bersama sang papa. Luna mengerucutkan bibirnya kesal dengan sisa-sisa air mata. Masalahnya dia sudah susah-susah mencari kakak-kakaknya di seantero rumah, eh ternyata mereka berdua malah enak-enakan makan jambu. Rasain tuh dimarahin papa. Batin Luna kesal. Akibatnya Kak Pota dan Kak Srean harus menerima hukuman dari papa, mereka berdua harus mau menemani Luna bermain bongkar pasang karakter barbie, bermain rumah-rumahan, juga bermain masak-masakan. Luna tertawa puas, sedangkan kedua kakaknya pias, merasa hilang harga diri.

Mereka bertiga juga pernah berdebat masalah hewan peliharaan. Luna ingin memelihara kelinci, Kak Srean ingin memelihara kucing, sedangkan Kak Pota ingin memelihara buaya. Katanya Kak Pota biar keren, biar teman-teman sekelasnya pada kagum melihat hewan peliharaannya. Papa sama mama jelas menolak keras. Pilihan masalah hewan peliharaan akhirnya jatuh ke pilihannya Kak Srean, yaitu kucing.

"Kenapa nggak kelinci saja?" Luna protes.

"Karena kelinci poop sama buang air kecilnya sembarangan kalau dibebasin di rumah." Kak Srean menjawab mantap, dengan senyum melebar saat papa pulang membawa seekor kucing berbulu tiga warna.

"Kenapa nggak buaya aja?" Kak Pota ikut menyerukan aksi protes.

"Kalau buaya yang ada kamu yang jadi makanannya." Papa menjawab dengan terkekeh. Kak Pota cemberut, Kak Srean tersenyum lebar, sedangkan Luna awalnya juga kesal, tapi lama-kelamaan jadi ikutan gemas sama kucing berbulu tiga warna itu.

"Pa, ini kucingnya cewek apa cowok?" Kak Srean bertanya dengan semangat empat lima.

"Cewek. Cantik kan? Kayak Luna?" Papa menjawab sambil mencubit pipi Luna. Seketika mata Luna melebar.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now