chapter 7

247 43 0
                                    

"No one is born ugly,

we're just born in a judgemental society."

Kim Namjoon

~•~

Luna berpikir bahwa memang hampir semua orang itu menilai orang lain hanya dari fisiknya. Banyak yang memilih teman yang cantik. Atau cowok yang lebih suka menggoda cewek yang cantik, daripada yang biasa, atau tidak biasa––dalam artian kurang cantik menurut mereka. Kebanyakan, sih, gitu. Cewek cantik berteman sama cewek cantik. Kadang ada juga meski nggak cantik, tapi pinter atau kaya, banyak juga temannya. Namun, kalau biasa saja, dan tidak kaya pula, ya gitu jadinya, kebanyakan nggak dianggap. Atau malah bisa menjadi bahan lelucon. Dianggap sebagai pengganggu pemandangan, sampah masyarakat, dan perkataan lainnya yang serupa.

Iya, fisik seseorang dijadikan lelucon agar membuat orang lain tertawa. Atau agar membuat dia sendiri merasa puas, merasa tinggi, merasa di atas, dan merasa segalanya.

Sebuah realitas yang menyedihkan. Banyak orang yang harus hidup tertekan hanya karena standar yang dibuat oleh orang lain atau masyarakat luas. Kriteria yang seakan sudah menjadi tembok pembatas untuk dapat bebas. Harus menjadi seseorang yang bukan dirinya hanya untuk dapat diterima di masyarakat umum. Kalau tidak bisa memenuhi standar atau kriteria yang kebanyakan orang tetapkan, maka tekanan akan datang pada individu yang menjadi korban––karena tak mampu memenuhi batasan-batasan yang kebanyakan orang tetapkan.

Luna bisa berpikir seperti itu karena dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Saat ini juga. Dia sedang bersama Catu, selepas dia menjalani hukuman dari Bu Karin––atau lebih tepatnya menikmati waktu kebebasan mereka––mereka hendak kembali ke kelasnya yang berada di lantai tiga. Namun, langkah mereka terhenti saat mendapati segerombolan siswa kelas sebelas yang tengah menjadikan seorang siswi sebagai bahan lelucon. Siswi itu dihadang, tidak boleh lewat.

"Mau lewat?" tanya salah satu cowok yang dasinya dijadikan ikat kepala.

Siswi itu mengangguk dengan ragu. Atau lebih tepatnya menahan rasa takut.

Segerombolan siswa itu tertawa, untuk waktu yang cukup lama. Entah menertawakan apa, Luna tidak tahu. Padahal menurut Luna tidak ada lucu-lucunya sama sekali.

Kadang kebanyakan orang tidak sadar bahwa lelucon yang mereka anggap lucu, adalah lelucon yang dianggap orang lain tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Apalagi lelucon tentang fisik seseorang. Meski kadang yang dijadikan bahan lelucon adalah fisik teman dekat, atau bahkan sahabat sendiri, itu tetap saja tidak benar. Karena mungkin mereka bisa saja tertawa lepas, seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, mereka tidak tahu pasti bagaimana perasaan mereka yang dijadikan bahan lelucon, bisa saja mereka sakit hati tanpa orang lain sadari.

Siswi itu hanya mampu diam, menundukkan kepala.

"Yakin nih mau lewat? Sayangnya, cuma cewek cantik yang boleh lewat sini!!" Salah satu diantaranya kembali berujar, yang diikuti anggukan kepala dan senyuman lebar dari yang lainnya. Lalu tawa mereka kembali pecah.

Siswi itu hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa, atau melakukan apa.

"Emak lo dulunya ngidam babi apa gimana, kok hidung lo gitu amat bentuknya?"

Luna kesal saat mendengar ucapan mereka. Dia menoleh ke arah Catu, Catu terlihat santai. Bersandar pada tembok. Malah seakan sedang melihat pertunjukan. Luna semakin kesal bukan main, dia hendak naik ke tangga dan mengajak siswi itu untuk berjalan bersamanya dan mengabaikan segerombolan siswa tidak berotak itu. Namun, Catu mencekal tangan Luna, menggelengkan kepala, memberi kode untuk Luna agar Luna diam dulu.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now