chapter 14

151 19 2
                                    

Daddy, are you out there?

Daddy, won't you come and play?

Daddy, do you not care?

Is there nothing that you want to say?

Coldplay - Daddy

~•~

Pagi datang digeser siang, siang digantikan sore, lalu sore dilengserkan oleh malam. Hari-hari berlalu begitu saja tanpa terasa. Tanpa terasa (terasa begitu cepat) bagi sebagian orang. Bagi sebagian lain, mungkin saja terasa sangat lama. Seakan sudah seperti berabad-abad rasanya.

Kalau menurut Luna, hari terasa begitu cepat berlalu. Sebenarnya dia ingin menetap saja di masa lalu. Tidak mau lagi ada hari-hari selanjutnya. Namun, apalah daya, Luna tidak punya kemampuan untuk menghentikan waktu, atau pun memutar waktu agar dia bisa kembali ke masa-masa yang dirasanya sangat membahagiakan. Tidak apa baginya untuk tetap menjadi kecil, asal kebahagiaannya terasa utuh. Sejujurnya, Luna sempat menyesal, mengapa dulu saat dia masih kecil ingin sekali cepat menjadi orang dewasa. Luna masih ingat betul waktu dia masih kecil, dia pernah bilang kepada papanya, bahwa saat Luna besar nantinya, Luna akan menjadi orang sukses, menjadi anak kebanggaan papa.

Waktu itu papanya menghampirinya ke kamar, sebelum Luna benar-benar memejamkan matanya. Papanya Luna tersenyum lebar lalu mengusap puncak kepala Luna dengan lembut.

"Kenapa anak Papa belum tidur?"

Luna menatap papanya dengan tatapan polos. Mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak matanya. Hal itu tentu saja membuat papanya Luna gemas, lantas beliau mencubit pelan kedua pipi Luna yang tembam.

"Ada apa? Cerita sama Papa!"

Dengan mengembuskan napas pelan, akhirnya Luna menyuarakan apa yang sejak pulang sekolah tadi mengganggu pikirannya.

"Tadi ibu guru tanya, kalau Luna besar nanti Luna mau jadi apa?" Luna berkata pelan, masih menatap kedua netra papanya dengan lekat.

"Terus Luna jawab apa?" Papanya Luna mengusap kepala Luna dengan lembut, penuh kasih sayang.

"Luna jawab kalau Luna pengen cepat besar dan bisa bahagiain papa sama mama." Luna menjawab lirih. Itu memang benar adanya, maksudnya Luna benar menjawab seperti itu ke gurunya. Meski sempat bingung saat ditanya seperti itu, yang terlintas di benak Luna hanyalah kalimat itu. Berbeda dengan teman-teman Luna yang lain, ada yang menjawab ingin jadi dokter, guru, pilot, polisi, perawat dan lain-lainnya. Luna malah sama sekali tidak kepikiran sampai sana. Mungkin hal itu wajar saja, karena Luna baru saja masuk TK A waktu itu.

Luna hanya berpikir, jika Luna sudah besar nantinya, Luna harus membuat papa dan mamanya bangga dengan Luna. Luna hanya ingin menjadi orang sukses, tapi orang sukses dalam hal apa, Luna tidak tahu pasti. Yang pasti ada di pikirannya adalah dia harus bisa membanggakan papa dan mamanya, juga kedua kakak laki-lakinya. Sudah itu saja.

Papanya Luna lagi-lagi tersenyum lembut. Melihat senyuman papanya, selalu saja membuat Luna kecil merasa aman dan nyaman. Luna seakan seperti melihat kasih sayang tiada terkira dari tatapan mata papanya. Kehangatan selalu merayap dalam hatinya. Papanya Luna selalu memiliki cara untuk membuat anak-anaknya menganggap bahwa orang tua adalah teman. Dalam artian jika Luna, Kak Pota, dan Kak Srean memiliki masalah di sekolah, memiliki unek-unek yang menggumpal dalam dada, papanya selalu meminta mereka untuk bercerita pada papa atau pun mama. Jika mereka ragu bercerita, maka papa menyuruh mereka menganggap bahwa papa dan mama adalah teman atau sahabat yang paling mereka percaya.

Eccedentesiast [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang