chapter 20

90 14 0
                                    

Everyone gets tired of me at some point.

Then eventually they'll leave.

They all do.

—Anonymous

~•~

Luna hanya mampu mengembuskan napasnya pelan. Berusaha baik-baik saja. Berusaha untuk tetap tenang. Meskipun dadanya bergejolak. Tanda tanya semakin besar di kepalanya. Juga hatinya terasa semakin patah. Hatinya hancur lebur, berserakan.

Luna sekali lagi menatap foto yang baru saja dikirim oleh Januar. Memastikan kalau cowok yang ada di foto itu beneran Catu. Dan berkali-kali dia memastikan, semakin jelas kalau memang benar yang ada di foto itu adalah Catu. Yang membuat hati Luna patah bukan itu, tapi foto cewek yang tampak sedang tersenyum bersama Catu. Dan cewek itu adalah Kesya.

Catu dan Kesya.

Mereka berdua terlihat sedang berada di kafe. Catu terlihat tersenyum ke arah Kesya, begitu juga sebaliknya. Januar memotretnya dari sisi samping. Jadi, semuanya terlihat jelas.

Apa mereka pacaran? Tadi nggak sengaja ketemu di kafe waktu gue lagi ngafe sama temen.

Itu pesan yang Januar kirim bersama dengan foto itu.

Luna langsung membatu. Hatinya terasa sakit. Dia sampai tidak tahu harus membalas pesan Januar bagaimana. Pikirannya langsung kacau. Luna sadar, selama ini Luna dan Catu hanya berstatus sahabat. Dan Luna sendiri juga sudah meyakinkan diri sendiri untuk tidak boleh termakan sama rayuan gombal Catu yang diucapkan ke banyak cewek, bukan hanya ke dirinya. Namun, Luna harus bagaimana lagi, namanya hati tidak ada yang bisa mengontrol harus berlabuh ke mana, ke siapa. Rasa itu datang begitu saja. Lebih tepatnya rasa dalam hati Luna datang karena terbiasa. Luna terbiasa bersama Catu. Dan karena terbiasa itulah rasa itu tumbuh semakin besar dari hari ke hari.

Selama ini Luna mengira Catu setidaknya memiliki perasaan yang sama sepertinya. Apalagi Catu sering bilang kalau dia ingin menikahi Luna di masa depan lah, ingin segera membawa Luna ke pelaminan, atau hal semacamnya. Luna berusaha untuk tidak baper, tapi dalam hati Luna deg-degan juga sebenarnya waktu Catu mengungkapkan kalimat seperti itu. Kadang Luna juga berpikir, mungkin Catu serius dengan ucapannya––serius ingin menikahi Luna, hanya saja dia mengucapkannya dengan nada bercanda.

Itu, sih, yang ada pikiran Luna.

Namun, Luna segera tertampar realitas setelah Catu juga mengungkapkan kalimat itu ke mbak-mbak yang tidak Catu kenal di lampu merah saat mereka pulang bareng.

"Mbak, cantik, deh. Mau nggak nikah sama saya?"

Mbak-mbak itu hanya memandang Catu dengan tatapan ngeri. Sedangkan Luna harus mati-matian menahan malu dan rasa kesal. Kejadian itu tidak hanya berlangsung satu kali, tapi berkali-kali. Bahkan ke ibu-ibu pun Catu juga bilang hal serupa.

Luna sudah tahu seperti itu, dan tidak mau berharap lebih banyak ke Catu. Namun sayangnya, hatinya tidak mau tahu.

Luna bermaksud mengirimi pesan ke Catu. Namun, urung. Dia tidak seberani itu. Atau lebih tepatnya dia belum siap mengetahui jawaban dari Catu.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now