chapter 18

102 14 0
                                    

They say life is full of paradox.

—RM

~•~

Hari-hari menjelang UAS, kelas disibukkan dengan penyelesaian materi semester ganjil. Karena memang ada guru yang beberapa kali tidak bisa datang mengajar karena kondisi beliau tidak sedang baik-baik saja fisiknya. Dalam beberapa pertemuan tidak hadir dan materi yang disampaikan belum sampai habis, jadi beliau menjelaskan materi secara kilat, mengejar waktu. Hingga bel istirahat sudah berbunyi, tapi beliau meminta waktu sedikit saja untuk menyelesaikan materi, nanggung katanya.

"Gila banget ya hari ini, mau tidur aja sampai nggak bisa, disuruh benar-benar merhatiin. Padahal mah tanpa dijelaskan gue udah bisa sebenarnya.." Catu mendengkus kesal, karena seharusnya dia bisa tidur, tapi gara-gara gurunya ingin semua siswa fokus dan tidak boleh ada yang ngantuk, maka Catu juga tidak bisa tidur. Lagian kasihan juga, guru yang sekarang sedang mengajar kondisinya belum benar-benar pulih, tetapi masih memaksakan untuk mengajar. Jadi Catu masih menghormati itu.

"Tidur mulu yang ada di otak lo.." Luna membalas pelan, tangannya cekatan menyalin materi yang telah dijelaskan guru di papan tulis.

"Udah waktunya istirahat ini.." Catu berkata lagi, membuat Luna memutar bola mata.

"Iya, semuanya juga udah denger bel, Tutu. Astaga, hargai kek gurunya. Gue juga ngantuk, tapi nggak rese kaya lo!" Luna jadi kesal sendiri, masalahnya Luna lagi sibuk menyalin, tapi Catu dari tadi terus saja nyerocos.

"Lagian ngapain, sih, ditulis? Rekam di otak aja udah?!"

"Bacot!"

"Wow, ngegas!"

Luna mengabaikan Catu, tatapannya beralih dari papan tulis ke buku tulis, tangannya sibuk menyalin materi. Catu tidak mencatat sama sekali. Yah, kalau kata Catu sih Catu sudah merekam materinya dalam otak, jadi tidak perlu mencatat lagi. Sedangkan Luna yang kapasitas otaknya tidak sebaik Catu dalam hal materi, jadi dia memilih untuk mencatat saja.

"Gue bosen. Lama banget sih.."

"Sabar elahh.."

"Gue nggak sabar, Lun.."

Luna berdecak, berusaha mengabaikan Catu. Namun, bukan Catu namanya kalau tidak membuat konsentrasi Luna ambyar.

"Gue nggak sabar untuk membawa lo ke pelaminan. Eaaakkk..."

Luna menghela napas. Catu enteng sekali bicara seperti itu, seenteng membuang plastik bekas es teh ke tong sampah. Padahal tidak tahu saja kalau dalam hati Luna rasanya sudah seperti apa, ambyar tidak karuan. Namun, seperti yang Luna bilang sebelumnya, Luna tuh harus menguatkan hati kalau bersahabat dengan Catu, kalau tidak, bisa hancur berkeping-keping hatinya entah dari kapan.

"Basi!"

Catu nyengir, membuat Luna kesal adalah kesenangannya. Catu suka melihat ekspresi Luna yang terlihat kesal, marah, dan galak sekaligus. Bagi Catu sangat menggemaskan.

Guru yang mengajar akhirnya undur diri, disambut dengan helaan napas lega dari hampir penghuni kelas. Catu apalagi, leganya luar biasa. Dia berkali-kali meregangkan tangannya, sok-sokan terlihat capek. Padahal yang dia lakukan dari tadi cuma melamun, mengomel, mengeluh, dan mengganggu Luna.

Anggota DaySix lain tengah mengintip dari jendela depan kelas Luna. Dio melambaikan tangannya sambil nyengir lebar. Juni turut serta menyembulkan kepalanya, lalu memberi kode untuk Luna dan Catu agar cepat keluar. Jendela kelas Luna memang agak tinggi, jadi perlu berjinjit untuk bisa mengintip. Kecuali kalau titisan tiang listrik, tidak perlu lagi berjinjit.

Eccedentesiast [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora