chapter 12

166 22 1
                                    

Sometimes you've got to act like

everything is ok.

~•~

Luna tahu bahwa tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di hari esok, lusa, seminggu, sebulan, setahun, dan bertahun-tahun setelahnya. Tidak ada yang tahu. Luna yang dulu juga tidak tahu kalau dia akan berada di posisi ini. Dia dulunya berpikir bahwa dia akan hidup bahagia––setelah kematian papanya––bersama mamanya, dan kedua kakaknya. Di pikiran Luna yang dulu seperti itu. Tanpa berpikir bahwa akan ada orang lain yang akan hadir dan menjadi bagian dari keluarganya. Memang sejatinya manusia tidak ada yang bisa menebak akan seperti apa masa depan. Beda lagi dengan yang katanya peramal, indigo, atau apa, entah mereka betulan tahu, atau cuma pura-pura tahu, Luna tidak tahu.

Katanya orang itu diciptakan ada untuk bahagia. Ada yang bahagia dengan cara sendiri tanpa melibatkan orang lain, ada yang bahagia harus dengan melibatkan orang lain, ada yang bahagia tanpa menyakiti orang lain, pun sebaliknya. Namun, kadang orang tidak pernah menyadari bahwa di balik kebahagiaan yang mereka rasakan, ada pihak lain yang harus menahan rasa sakit demi melihat kebahagiaan orang itu. Bukan iri. Namun lebih ke sesuatu yang harus membuat orang lain terluka, demi orang lain bahagia. Seperti mamanya Luna, demi melihat ketiga anaknya bahagia, mamanya Luna harus menahan rasa sakit yang bersarang di hatinya, rasa sepi, dan perasaan lain yang tidak Luna tahu setelah kepergian papanya Luna. Mamanya Luna harus menjadi dua peran sekaligus, sebagai seorang ayah, juga seorang ibu untuk ketiga anaknya.

Dan untuk saat ini, mamanya Luna telah menemukan kebahagiaannya kembali. Namun, entah dengan Luna.

Hidup kadang memang sepelik itu. Well, mungkin banyak orang yang mengatakan bahwa 'Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan.' Iya memang, hal itu benar bagi sebagian orang. Bagi sebagian lain, tidak semudah itu menciptakan kebahagiaan saat dirinya sendiri sudah asing dengan kata bahagia.

Ada orang yang hidupnya bahagia-bahagia saja, mengatakan masalah hidup orang lain terlalu kecil, lebih besar masalah hidupnya, tapi dia santai saja, tidak mellow, tidak lebay. Kalau sudah seperti itu, ibaratnya dia hidup hanya dengan raganya saja, tanpa jiwa.

"Diem aja lo, Lun, lagi sariawan?"

Pertanyaan dari Dio menyeret Luna dari lamunannya. Saat ini mereka––Luna dan anggota DaySix––tengah berada di kafe langganan DaySix manggung. Hampir setiap hari mereka manggung di kafe ini.

"Lagi nikmatin hujan dia tuh, jangan lo ganggu." Catu yang duduk di dekat Luna menyahut.

Catu tidak sepenuhnya salah. Setelah mereka berangkat dari rumah Luna, tak lama kemudian hujan turun membungkus kota. Membuat Luna dan anggota DaySix bingung mau ke mana, karena sebenarnya tujuan mereka belum pasti. Hingga akhirnya pilihan mereka jatuh ke kafe ini. Dan di sini lah mereka sekarang. Mereka memilih meja yang dekat dengan dinding kaca––sebenarnya itu pilihan Luna. Alasannya jelas karena agar Luna bisa menikmati tetes hujan yang jatuh menghantam paving block, juga dedaunan dari bunga pucuk merah yang ada di depan kafe.

"Oh begitoo." Dio mengangguk, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

Entah mengapa semua menjadi diam. Sibuk dengan ponsel masing-masing. Sedangkan Luna malah sibuk menatap tetes air hujan di luar. Hujan menderas, sepertinya hujannya akan berlangsung lama. Tidak apa, itu lebih baik daripada Luna harus segera pulang dan mendapati kekosongan yang terasa pekat di dalam rumahnya.

Eccedentesiast [END]Where stories live. Discover now