42. Choose

978 38 5
                                    

Ponsel hitam itu berbunyi. Menampilkan notifikasi dari pesan online yang masuk. Aletta melirik sekilas pesan yang muncul dari pop-up, lalu hanya mengabaikannya saja. Perempuan itu lebih memilih untuk membaca materi biologi yang akan diujikan nantinya daripada sekadar membalas pesan itu.

Lagi pula isinya tidak penting.

Setidak-penting-dirinya yang selalu dianggap sebagai seorang yang selalu salah oleh makhluk Tuhan itu. Selalu dianggap hama, bahkan tak pernah dipandang sebagaimana memandang manusia lain.

Entah mengapa dirinya diperlukan beda oleh lelaki itu. Entah bagian mana yang salah dari dirinya.

Esok hari guru mata pelajaran biologi akan mengadakan ulangan harian di kelasnya. Maka dari itu dia ingin fokus memahami materi-materi yang dirasa akan keluar sebagai soal. Dan lagi pula, dia harus membuktikan kepada lelaki yang telah menyakitinya itu dengan sebuah pencapaian yang sukses.

Dia harus bisa membuktikan bahwa dia bisa melangkah maju ada atau tidak adanya lelaki itu di dunianya.

Tekadnya satu; Ada Argio yang harus menyesal karena telah menyakitinya.

Simple. Sesederhana itu.

Ah, alamak! Mengapa pula dia jadi membahas tentang Argio?! Lebih baik dia segera menonaktifkan ponselnya dan berjuang dengan buku-buku yang ada di meja belajarnya.

Tring!

Sialan.

Aletta mengerang lalu mengambil ponselnya dan melihat isi pesan dari Argio. Lelaki itu banyak maunya, ya. Aletta sudah menjauh, sekarang dia yang mendekati. Maunya itu apaaa? Aletta sungguh tidak mengerti.

No name: Aletta boleh kita bsk jmp di ruang osis?

No name: gue tau lo online

Aletta mendecak. Kemarin, siapa yang menyuruh Aletta untuk segera menjauh dari Argio? Kenapa sekarang malah lelaki itu yang terlalu ngebet untuk berjumpa dengannya?

Aletta F: Sori saya sibuk

Bodoamat dengan balasannya! Aletta segera mematikan daya ponselnya dan meletakkan ponsel hitam yang menjadi media kekesalannya itu di balik bantal.

🌶🌶🌶

"Aletta bangsat!"

Aletta menghentikan langkahnya dan menatap Sania geram. Kemudian mendekati Sania dan memukul mulut temannya itu. "Ih, bahasa lo sekarang kasar, ya. Pergaulan dari mana sih?"

"Ya dari kalian lah, pake nanya lagi." Sania menatap Aletta dan Riris dengan malas lalu menarik kedua perempuan itu untuk memasuki musholla sekolah.

"Ngapain ke sini?" tanya Riris.

"Mau jaga lilin buat ngepet malam Jumat," balas Sania. Sania berjalan ke almari dan mengambil tiga pasang mukenah berwarna putih. "Nah ambil." Sania memberikan kedua sahabatnya itu mukenah.

"Buat apasih?" Kali ini Aletta yang bertanya.

Sania mendecak melihat respon temannya yang masih goblok-goblok tidak tertolong. "Wahai ukhti, sebaiknya tunaikanlah Dhuha kalian agar dimudahkan urusannya," Sania memberi wajangan bak ibu-ibu kepada anaknya. "Terutama lo ya Aletta Frisca. Biar barokah hidup lo, biar bisa move on dari doi. Udah ah, cepetan. Kalian ini Islam kaya Islam KTP yah, ih."

Sania menyeret kedua temannya untuk beribadah. Sementara baik Riris maupun Aletta terheran-heran.

Ada apa gerangan dengan Sania yang tiba-tiba berubah?

Selesai beribadah, Sania mengambil tangan Aletta dan mengajaknya duduk di dalam mushalla. Riris pun ikut saja begitu Sania menggiring Aletta ke sudut mushalla.

"Apaan sih? Aneh tau gak lo." Aletta mendecak kesal.

"Jadi gini, Ta. Gue mau interogasi lo."

Sania mengedarkan pandangannya dari Riris ke Aletta lalu menatap sekitar yang masih sepi dan senyap. "Faedahnya gue bawa lo ke sini, ya biar lo jangan tipu-tipu gue lah. Di sini kan rumah ibadah, kalo lo bohong berarti dosa lo itu kelipatan kuadrat. Emang mau?"

Dan dengan bodohnya saja Aletta menggelengkan kepalanya.

"Okey, berarti lo harus jawab jujur sejujur-jujurnya pertanyaan gue," Sania memelankan suaranya dan menatap Aletta dan Riris dengan serius. "Dan lo, Ris. Bantu gue interogasi si Aletta, okey. Ini semua gue lakukan buat kenyamanan, keamanan, ketentraman, dan kedamaian untuk teman kita satu ini yang sedang menjadi hastag pejuang move on."

Riris mengangguk.

"Jadi Aletta...."

...

Rafaela menggebrak meja dan menatap Argio nyalanya. "Heh bocah laknat, kenapa lo semalam gak datang?"

"Gapapa."

"Gue nanya kenapa. Kenapa. Alasan lo."

"Malas."

"Bangsat," Rafaela menepuk mulutnya yang berkata kasar dengan tidak sengaja. Padahal dia sudah berjanji kepada mamanya untuk tidak akan berkata kasar lagi. "Astaghfirullah."

Argio hanya tak acuh terhadap kehadiran Rafaela. Lelaki itu kemudian melanjutkan pekerjaannya dalam meneliti laporan dari Zamora.

Setelah lama terdiam, Rafaela kembali membuka suara. "Gue beri lo dua pilihan," Argio hanya mendengarkan saja tanpa repot-repot untuk menatap Rafaela. "Pertama, kita selesaikan masalah sekolah ini dahulu,"

Argio dengan segera mendongakkan kepalanya untuk menatap Rafaela walaupun masih enggan.

"Atau yang kedua, kita-maksud gue, lo selesaikan masalah lo dengan Aletta terlebih dahulu." Mendengarnya, Argio kali ini menatap Rafaela dengan serius membuat Rafaela mendengkus. Ingatannya kembali berputar di mana ketika tadi malam dia memberi pesan kepada gadis itu. Ah, rupanya Aletta benar-benar akan menjauhinya, ternyata.

"Silakan dipilih!" Tukas Rafaela, sebal.

Giliran ada sangkut pautnya dengan Aletta, dengan segera Argio memberi seluruh atensinya. Dasar laknat, eh astaga, maafkan Rafaela ya yang sudah berkata kasar sebanyak 3 kali.

Tapi kan itu semua karena Argio!

....

ALERGIO [COMPLETED]Where stories live. Discover now