EPISODE II - JATUH

3.2K 253 22
                                    

_____

Ketika denyut sudah mengambil alih semuanya. Menutup mata pun masih akan terasa. Deritanya begitu tampak karena raut muka tidak bisa di hilangkan.

_____

Benua merasa kepalanya masih sakit. Tapi dia tidak mau membuat kakek dan juga kakaknya khawatir dengan keadaannya karena tidak turun untuk sarapan. Dengan perlahan dia menginstruksi tubuhnya agar berkompromi dengan perintah otaknya. Berpegangan pada meja kecil di samping tempat tidurnya dan mulai berdiri. Pandangannya berubah menjadi melayang saat dia berhasil menegakkan tubuhnya dengan benar.

Dia mulai berjalan dengan tertatih mendekati pintu kamar. Membukanya perlahan. Lalu menuju tangga untuk turun ke lantai dasar.

Ketika akan menginjakkan kakinya ke anak pertama tangga. Tubuhnya tiba-tiba saja linglung. Sebelum dia benar-benar jatuh ke bawah ada sebuah lengan kekar menahannya. Dia mengalihkan pandangan ke arah penyelamatnya dan betapa kagetnya dia saat melihat si kakak sulung yang menyeringai sinis ke arahnya.

"Selamat pagi, adik manis." Sapa si kakak sulung yang masih setia menahan tangannya.

"Lepaskan tangan ku."

Dia berharap bahwa kakaknya itu tidak akan melepaskan tautan tangan mereka. Tapi semuanya terlambat saat sang kakak benar-benar mewujudkan keinginannya itu.

"Apa yang kau lakukan padanya, Samudra?" Teriak kakek membentak Samudra. Kedua tangannya sudah siaga memegang bahu Benua yang akan jatuh jika dia tidak segera datang.

Kakek tidak terima bagaimana cara Samudra bersikap pada Benua. Apalagi sampai membayangkan kalau Benua benar-benar akan jatuh dari tangga.

"Dia ingin aku melepaskan tangannya." Jawab Samudra seadanya.

Kakek menyipitkan matanya menyelidik. Lalu akhirnya menghela nafas sebentar sebelum menuntun Benua turun ke ruang makan. Kakek terlalu memahami situasi sehingga dia bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Sementara itu Samudra tetap mengekori keduanya dari belakang.

Setelah sampai di lantai dasar. Mereka bertiga langsung menuju ruang makan yang di sana sudah ada Asia dengan satu pelayan yang mengurusi menu makanan yang akan di makan keluarga Nicander.

"Selamat pagi tuan Nicander, tuan muda Samudra, tuan muda Benua." Hormat Huang Gina selaku wakil kepala pelayan di Penthouse Nicander.

"Pagi Gina." Jawab kakek dengan senyum simpulnya.

"Pagi juga Bi Gina." Tambah Benua dengan senyum khasnya. Sementara Samudra hanya membalasnya dengan deheman tidak jelas.

Di meja makan hanya ada kakek, Samudra, Asia, dan juga Benua. Tidak ada pembicaraan yang serius di antara ke empatnya. Hanya pembicaraan ringan hingga Benua melontarkan pertanyaan yang terasa sulit di jawab kakeknya.

"Dimana papa sama mama Benua? Mereka berdua tidak pernah kelihatan." Tanya Benua tanpa beban.

Mendengar pertanyaan dari Benua membuat kakek yang tadinya tersenyum kini berubah tegang. Asia menundukkan kepalanya dalam seolah menghindari. Sedangkan Samudra masih melanjutkan makanannya tanpa berniat menjawab pertanyaan Benua.

"Mereka ada perkerjaan di luar negeri. Tidak tahu kapan pulang." Jawab kakek dengan sorot mata yang tidak terbaca oleh Benua.

"Mereka tidak pergi lama. Akan kembali kalau perkerjaannya selesai." Ujar Asia dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah cantiknya.

Samudra mendengar kalimat yang di jadikan jawaban oleh kakek dan Asia kepada Benua. Membuat matanya berembun tanpa dia sadari. Mengingat bagaimana waktu itu terakhir kali ketika dia masih bisa merasakan hangatnya pelukan kedua orang tuanya.

Samudra tidak dapat manahan rasa sakit pada hatinya sehingga dia memukulkan tangannya pada meja makan dan menimbulkan suara nyaring.

Semua orang menoleh pada Samudra. Tapi Samudra hanya diam saja dan tidak menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya.

"Kenapa memukul meja? Kau mengganggu sarapan ku. Aku jadi tidak nafsu lagi." Teriak Benua tidak suka melihat sikap Samudra pagi ini.

Samudra melayangkan tatapan tajam pada mata bulat milik Benua. "Kau anak bodoh yang suka bersembunyi di bawah ketiak kakek mu."

Benua yang tidak terima akan ucapan menyakitkan dari Samudra pun membalasnya tak kalah sarkas. "Kau kakak yang tidak bertanggung jawab pada adiknya. Kau selalu memarahi ku dan selalu saja membentak ku. Aku benci pada mu. Aku benar-benar benci pada wajah dingin yang selalu saja memandang ku dengan tidak suka."

Benua merasa kepalanya kembali berdenyut nyeri dan pandangan melayang juga ikut menghampirinya.  Benua berdiri dari tempat duduknya. Pergi menjauhkan diri dari tatapan tidak suka Samudra yang membuatnya semakin sesak.

"Bisakah tidak membentak adik mu lagi, Samudra?" Tanya kakek dengan suara lembutnya. Menahan emosi agar tidak tersulut dalam pertikaian di antara kedua cucunya.

"Aku muak dengan semuanya."

Samudra juga meninggalkan tempat makannya. Setidaknya kakek tidak terlalu khawatir karena Samudra sudah menghabiskan sarapannya. Kakek menoleh pada Asia yang hanya diam memperhatikan kejadian yang baru saja terjadi di hadapannya.

"Kau akan ke sekolah atau tetap disini, Asia?"

"Ah iya, Asia sudah selesai sarapannya. Asia pamit ke sekolah dulu, kek." Pamit Asia sebelum pergi meninggalkan kakek sendiri di ruang makan.

Ketika tubuh Asia lenyap di balik pintu, kakek memutuskan menjenguk Benua yang sepertinya sekarang tengah menangis sendirian di kamarnya.

Kakek akan menaiki anak tangga ketiganya sebelum dia berlari menangkap Benua yang jatuh berguling dari tangga atas. Kakek melihat ke anak tangga terakhir dan di sana berdiri Samudra dengan tatapan terkejutnya.

"Benua, buka mata mu." Kalimat pertama kakek saat mencoba membangunkan Benua. Wajah yang tadinya mulus kini penuh dengan bercak merah berbau amis darah.

Tidak ingin membuang waktu. Kakek langsung mengangkat tubuh kecil Benua ke gendongannya dan langsung membawa Benua ke rumah sakit. 
Melihat kakek yang kewalahan menggendong Benua di tangannya membuat Samudra jadi tidak tega. Samudra langsung turun menghampiri kakeknya dan mengambil alih tubuh Benua ke dalam gendongannya.

Sempat berpandangan selama beberapa detik hingga akhirnya selesai saat Samudra mengatakan bahwa mereka tidak punya banyak waktu lagi.

Kakek langsung memanggil supir keluarga Nicander. Mereka langsung menuju ke rumah sakit terdekat. Di perjalanan ke rumah sakit. Kakek menatap kasihan pada Samudra. Kakek tahu bahwa Samudra tidak berniat melakukannya. Tapi, jika saja Benua tidak selamat. Jangan harap kakek akan mengampuninya untuk kali ini.

Samudra membersihkan dengan hati-hati kepala Benua yang berdarah. Tidak tega sebenarnya melihat keadaan adik bungsunya yang menderita. Terlebih lagi karena dirinya yang tidak sengaja.

"Berhenti di sini. Aku ingin turun. Tepikan mobilnya." Suara deep voice Samudra memecah keresahan kakek yang duduk di depan bersama supir.

Kakek menolehkan kepala kebelakang. Memastikan yang dia dengar adalah salah. "Kau yakin?"
Samudra menganggukkan kepalanya. Kakek tidak bisa berbuat apa-apa kalau Samudra sudah berkehendak ingin turun di tengah perjalananya mereka.

Mobil menepi ke kiri. Lalu setelah meninggalkan Samudra sendiri di jalan sepi itu mobil kembali berjalan.

Kakek menatap cemas ke arah Benua yang belum sadarkan diri. Berharap pada Tuhan agar menyelamatkan cucu kesayangannya itu. Kakek sangat menyayangi Benua.

Memori lama kembali terulang di ingatan kakek saat pertama kali dia menggendong cucu bungsunya. Bayi merah dan kurus itu menjadi matahari paling terang di keluarga Nicander. Semua orang sangat senang akan kehadirannya di dunia. Apalagi saat Samudra belum membenci Benua seperti saat ini. Kakek berharap Samudra segera sadar dan menyayangi Benua layaknya seorang kakak menyayangi adiknya. Kakek sangat mengharapkan hal itu terjadi.

BENUAWhere stories live. Discover now