EPISODE XIX - MARAH

754 67 5
                                    

Letupan gelembung dari lamanya kesabaran. Membuncah begitu dahsyat. Sampai akhirnya membuat hati merasa ingin sekali meneriaki diri sendiri.

Asia mengambil kunci mobilnya. Sebuah hadiah ulang tahun yang diberikan kakeknya tahun lalu. Mobil limited edition yang sangat mahal. Mercedez Benz keluaran terbaru. Asia tidak memungkiri kebahagiannya. Karena sejak lama Asia sudah mengidamkan mobil berkesan mewah itu menjadi miliknya.

Asia mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Meskipun jalanan yang sedang dilewatinya sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang berkeliaran di sekitar sana. Waktu perjalanan yang ditempuh Asia tidak terlalu lama. Lima menit Asia sudah sampai di Cafteria yang berada di dekat sekolahnya.

Asia memakirkan mobilnya. Lalu melepas sabuk pengaman yang melindunginya. Berkaca sebentar pada cermin yang menggantung di hadapannya. Merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Baru setelahnya keluar dari mobil dan berjalan mendekati pintu masuk.

Langkah Asia pelan. Menyelusuri kursi-kursi kosong. Matanya melirik ke sana kemari mencari intentitas Rigel. Asia tersenyum senang ketika mengetahui Rigel yang melambaikan tangannya ke atas. Seolah-olah Rigel menyuruh agar Asia ke tempatnya.

Rigel berdiri dari tempat duduknya ketika Asia berjalan ke arahnya. Rigel menarikkan kursi yang ada dihadapannya untuk Asia duduki. Melihat tingkah laku Rigel yang begitu peduli membuat Asia mengulum senyumnya. Asia berpikir, betapa baiknya teman laki-lakinya itu.

Rigel kembali duduk di tempatnya semula. Sekarang Asia sudah duduk dihadapannya.

"Ada keperluan apa ingin menemuiku?" Tanya Rigel memulai pembicaraan.

Asia membuka tas selempang yang dikenakannya. Mengambil sebuah kertas tua yang telah usang dengan pinggirannya yang sudah banyak sobekan. Meletakkannya di meja.

"Judulnya kurang tepat, Rigel." Ujar Asia lembut.

Rigel membuka puisinya. Memperhatikan judul yang tertera paling atas.

"Apa aku harus mengubahnya?" Tanya Rigel.

"Iya, kamu harus mengubahnya jika ingin puisimu itu lebih baik lagi."

Rigel tertawa, "Kamu memang editor yang teliti rupanya, Asia."

"Entah itu kelebihan atau kekurangan, aku tidak mengerti." Ungkap Asia setengah tidak yakin dengan apa yang dia katakan.

Rigel berhenti tertawa. Kini fokus menatap Asia, "Aku juga merasa kurang tepat memberikan judul itu, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar kehilangan imajinasi saat itu."

"Kamu tidak perlu terburu-buru memberikannya padaku. Aku sanggup menunggu lebih lama dari yang kamu bayangkan. Kita teman baik, aku selalu memahamimu." Ujar Asia ramah.

Rigel melipat kertas tua itu. Memasukannya ke dalam saku hoodie.

"Baiklah, aku akan merevisi ulang judulnya. Mungkin juga isinya."

Asia menarik tangannya yang berada di atas meja, "Hanya itu yang ingin aku katakan."

Rigel menatap Asia heran, "Hanya ini? Tidak ingin pesan makanan dulu atau kita bisa jalan-jalan kalau kamu tidak ingin makan?"

Asia merapikan penampilannya, "Tidak perlu. Aku ingin pulang sekarang. Aku tidak bisa lama. Kakekku sendirian di rumah."

Rigel memahami ucapan Asia. Walaupun masih belum puas menikmati waktu bersama mereka berdua yang ternyata sangat singkat.

"Aku antar pulang?" Ajak Rigel. Berharap Asia akan menerimanya.

"Aku bawa mobil sendiri."

Asia berdiri dari tempat duduknya. Sembari tersenyum pada Rigel yang masih belum berdiri.

BENUAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt