EVISODE VIII - GAGAL

1.2K 119 4
                                    

_____

Yang tertunda karena suatu hal yang tidak dapat di cegah ataupun di hentikan. Terkesan tidak berhasil padahal hampir saja mencapainya.
_____

Angin bersiur dengan pelan. Suara gesekan daun berbunyian saling menyahuti. Teriknya mentari menyapa secara langsung Samudra yang berdiri di pinggiran jembatan. Berdiam diri menjauhi keramaian. Demi menikmati suasana hening dan sepi. Samudra yakin tidak akan ada yang menganggunya di tempat setenang itu.

"Siapa pengantar surat itu?"

Gumam Samudra sambil menatap langit biru di hadapannya. Memperhatikan dengan jeli bagaimana kumpulan awan-awan putih itu bergerak mengikuti angin.

"Apa Benua memang benar sudah mati? Bagaimana caranya memberitahu Kakek? Dan, reaksi Asia?"

Samudra merasa kepalanya akan pecah jika kabar dadakan itu menjadi nyata. Meskipun jika di lihat dari luar sikap Samudra pada Benua sangat terbilang tidak baik. Samudra juga masih sangat menyayanginya adik bungsunya itu. Walaupun keberadaan adiknya itu membuatnya teringat akan peristiwa kematian kedua orang tuanya.

Pikiran Samudra juga melayang pada Asia. Adik perempuan satu-satunya. Samudra tahu bahwa Asia terlalu introvert bahkan pada keluarganya sendiri. Asia adalah pasien pengidap self injury. Kapan saja dia bisa melukai dirinya sendiri. Padahal kakek sudah berapa kali memaksa agar Asia berobat ke dokter spesialis. Tapi apa daya jika Asia tetap pada pendiriannya. Dengan sebuah janji, Asia menyakinkan mereka semua. Bahwa dia tidak akan lagi melukai dirinya sendiri. Walaupun, hal itu masih dapat dia lakukan tanpa sepengetahuan dari mereka.

Tidak perlu di tanya tentang kakeknya. Samudra sangat paham bagaimana watak tuan besar Nicander itu. Sangat protektif dengan cucu-cucunya. Meskipun saat ini telah kecolongan. Cucu kesayangannya sendiri sekarang tidak tahu ada di mana.

Samudra mendongakkan kepalanya melihat mentari yang sudah berada tepat di atas kepala. Dering ponsel Samudra berbunyi. Kening Samudra ikut mengerenyit saat melihat nama kontak yang menelponnya. Ternyata kakeknya itu serius untuk mengajaknya ikut konferensi pers tentang penculikan Benua.

Dengan tidak yakin. Samudra mengangkat panggilan kakeknya.

"Ada apa?"

Samudra berbasa-basi.

"Kau ada di mana?" Suara di sebrang ponsel terdengar terburu-buru.

"Di tempat yang membuat ku tenang." Jawab Samudra asal.

"Pulanglah."

"Tidak."

"Kakek dan Asia akan pergi duluan ke Rumah Sakit Bougeainvillea. Jangan sampai telat, Samudra."

"Kau memaksa ku?" Tanya Samudra dengan suara naik beberapa oktaf.

"Apa salahnya, Samudra? Ini agar media tidak meneror kita lagi. Dan agar kakek fokus untuk mencari keberadaan adik bungsu mu."

Tuan besar Nicander menjelaskan dengan tepat alasan mengapa dia menyetujui saran dari rekannya. Semuanya dia lakukan agar Benua kembali ke pangkuannya.

"Tapi dengan begitu kau memaksakan kehendak mu pada ku."

Samudra kembali berkilah.

"Sam, jika tidak demi Kakek dan Benua. Lakukan demi Asia. Kakek tunggu kedatangan mu."

Setelah sambungan terputus. Samudra terlihat menimang-nimang kalimat terakhir yang di ucapkan kakeknya. Melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ingin di lakukannya. Membuang-buang waktu untuk membuat para masyarakat internet sedikit merasa tenang. Ini jelas sekali bukan sifat dari Samudra. Tapi, saat mendengar nama Asia. Akhirnya Samudra luluh juga. Asia, adik perempuan miliknya satu-satunya. Samudra tidak ingin mengecewakan Asia seperti Benua yang mengecewakan Samudra.

Samudra beranjak dari pinggiran jembatan itu. Menuju mobil sportnya yang terparkir rapi di barisan para supercar yang lainnya. Tujuan Samudra selanjutnya. Menemui Asia dan kakeknya. Lalu melakukan konferensi pers tentang penculikan Benua.

Sedangkan di tempat lain. Dengan waktu yang sama durasinya. Sosok yang mereka perbincangkan itu sudah terbangun dari pingsannya beberapa detik yang lalu. Semulanya dia terkejut saat melihat pakaian baru yang terpasang di tubuhnya. Lalu keterkejutannya itu masih belum selesai. Benua turun dari ranjang besar itu. Berjalan ke arah balkon. Ingin memastikan sekarang dirinya ada di mana. Saat matanya menyapu yang ada di luar balkon betapa kagetnya Benua ketika tidak ada satu pun penampakan rumah tetangga di sekeliling Mansion itu.

Mansion yang barada di tengah hutan. Dengan begitu megah dan terawat sehingga tidak memberikan aura mencemkan dari penampilannya. Benua salut dengan interior dan tema Mansion ini. Roma klasik, seperti yang ada di Yunani.

Benua memutuskan untuk pergi lebih jauh. Mungkin karena dia penasaran atau mungkin ingin kabur. Benua keluar dari pintu kamarnya. Berjalan mendekati satu ruangan yang sama-sama berada di lantai yang dia tempati.
Benua menatap pintu besar itu. Nyalinya hampir saja menciut jika saja dia tidak teringat dengan tekadnya untuk pulang dan bertemu Kakek dan kedua kakaknya.

Benua mendorong pintu dengan sangat pelan. Seperti slow motion. Derit pintu itu bahkan tidak terdengar. Sekalipun tikus yang lewat.

Benua menyelusuri ruangan dengan perabotan dominan berisi banyak lemari kuno yang menjulang tinggi. Benua mendengar suara televisi dari arah dekatnya berdiri.

Langkahnya terhenti ketika menemukan entitas pria dewasa yang menutupi wajahnya dengan masker hitam. Sedang menonton televisi dengan volume besar. Benua seolah di ajak untuk mundur ke beberapa jam sebelum dia berada di titik sekarang. Saat pria itu menyiksanya, menampar, memukul, menendang dan juga melacitnya dengan sabuk panjang.

Bulu kuduk Benua meremang. Bahkan tubuhnya masih sangat sakit untuk di gerakkan. Benua berjongkok di balik salah-satu lemari yang menjulang tinggi. Menutupinya dari pria dewasa yang menyembunyikan muka dengan masker hitam.

Karena suara televisi itu yang begitu nyaring. Benua dapat mendengar apa yang sedang pria itu tonton. Sebuah konferensi pers. Berlatar taman rumah sakit Bougainvillea. Tempat terakhir kalinya Benua dirawat. Tentunya sebelum mereka menculik dirinya dengan diam-diam.

Mata bulat Benua seketika membulat sempurna saat televisi yang menyala itu memperlihatkan sosok yang begitu sangat di rindukannya saat ini. Ada kakeknya disana, beriringan dengan kedua kakaknya, dan yang terakhir ada orang-orang kepercayaan kakeknya.

Dengan beralaskan lantai dingin. Benua tetap mempertahankan posisi jongkoknya. Bersembunyi. Matanya tetap fokus ke arah layar lebar itu. Kakeknya sudah mengambil ancang-ancang untuk berbicara.

"Selamat siang, semuanya."

Itu suara kakeknya di dalam konferensi pers yang dia tonton.

"Saya, ..."

Belum sempat kakeknya mengatakan maksud dan tujuannya mengadakan konferensi pers tersebut. Sebuah bom tiba-tiba meletus di dekat area taman rumah sakit. Sontak hal itu membuat panik semua orang yang hadir. Bahkan, para awak media sudah meliput kejadian itu. Meninggalkan acara konferensi pers yang bahkan baru saja akan di buka.

Acara itu gagal. Semuanya membubarkan diri. Takutnya nanti ada bom susulan. Para polisi sudah mengamankan beberapa titik. Dan untuk para korban bom, sudah di larikan ke dalam rumah sakit Bougainvillea. Tidak ada yang meninggal. Semuanya selamat. Sebagian ada yang mendera lecet-lecet di tubuh mereka.

Televisi itu di matikan oleh si pria dewasa bermasker hitam. Cukup lama Benua menunggu apa yang akan selanjutnya pria itu lakukan. Tapi, semua kesabarannya itu berubah menjadi ketakutan. Karena sebenarnya sedari dia masuk dan bersembunyi. Si pria dewasa itu sudah mengetahuinya.

"Kau ketahuan kelinci manis. Kau pikir aku tidak tahu kau masuk ke ruangan ku diam-diam seperti seorang pencuri. Kau tertangkap basah. Dan kau akan dapat akibatnya."

Si pria dewasa yang menutupi wajahnya dengan masker hitam itu berbicara dengan memunggunginya. Dapat Benua simpulkan bahwa sekarang nasibnya sudah berada di ujung tanduk.

BENUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang