EPISODE X - RENCANA

1K 113 4
                                    

_____

Sesuatu yang memang sudah diatur terlebih dahulu sebelum mengerjakannya. Tentang rancangan melakukan suatu hal dengan teratur dan juga tidak berantakan.

_____

Cuaca begitu buruk hari ini. Langit yang mendung sudah cukup menggambarkan hari yang kelam. Hutan belantara yang hanya orang-orang berkepentingan saja yang mengetahuinya semakin mengerikan jika bersanding dengan gemuruh riuh guntur yang saling bersahutan. Akhir-akhir ini Indonesia memang sedang mengalami iklim yang tidak tetap. Terkadang cerah dipagi hari dan disore harinya hujan ataupun sebaliknya.

Dengan gagahnya tuan Eksekutif Dua menjelajahi ruangan demi ruangan untuk mencapai satu ruangan khusus. Matanya yang tajam bahkan mampu membuat orang tidak berkutik. Rahang kokoh yang tersembunyi dibalik masker hitamnya seperti memancarkan aura ketegasan dari sosoknya.

Langkah kaki yang membawanya ke ruangan khusus sudah berhenti. Sekarang hanya ada pintu yang dilengkapi berteknologi tinggi didepannya. Sebuah sensor menyapu matanya. Seketika pintu itu terbuka. Seolah-olah mempersilahkan dirinya untuk masuk.

"Selamat datang tuan Eksekutif Dua." Sebuah suara terdengar saat dirinya mulai memasuki ruangan.

Langkah kakinya berjalan mendekati kursi paling ujung di meja panjang. Menatap mata yang menatapnya sinis. Langkahnya memberat ketika jarak mereka hanya bersisa satu meter. Sosok yang dikenal sebagai tuan Eksekutif Dua itu langsung saja menarik satu kursi kosong terdekat. Mendudukan dirinya berhadapan dengan sosok Dewan Kepala yang sedang duduk dengan kedua kaki dilipat diatas meja..

"Apa kabarmu, tuan Eksekutif Dua?"

Sapaan bermakna pertanyaan bernada remeh dikeluarkan sang Dewan Kepala.

"Kau bisa melihatnya sendiri."

"Ck, jawablah dengan sopan. Jangan tidak sungguh-sungguh seperti tadi."

Sang Dewan Kepala melipat kedua tangannya didepan dada.

"Maafkan aku kalau begitu."

"Baiklah, karena aku sedang baik. Maka aku akan memaafkanmu."

"Untuk apa memanggilku?" tuan Eksekutif Dua bertanya serius. Matanya sama sekali belum pernah beralih menatap sorot sinis dari sosok yang begitu banyak diagungkan di Mansion mewah ini.

"Jangan berlagak bodoh didepanku." Ujar Dewan Kepala mulai tidak suka dengan tingkah laku bawahannya.

"Kau membuatku menunggu lama dengan basa-basi mu yang tidak penting." jawab tuan Eksekutif Dua dengan beraninya.

"Bukankah basa-basi memang tidak terlalu penting?" sang Dewan Kepala mencoba untuk mencairkan suasana tegang diantara keduanya.

"Jika kau masih ingin bermain. Maaf, tapi aku tidak bisa."

Tuan Eksekutif Dua berdiri dari tempat duduknya. Mendorong kursi kembali ke tempat semula. Sedangkan Dewan Kepala yang melihat kelakuannya hanya diam memperhatikan.

"Baiklah, jangan marah."

  Dewan Kepala tampak mengalah lebih dulu.

"Katakan." Ketus Eksekutif Dua memalingkan wajahnya dari Dewan Kepala.

"Kau membawa seorang bocah ke Mansion ini. Tentu itu menjadi masalah. Aku penguasa disini. Dan kau tidak memberitahuku apa-apa tentang rencana konyolmu itu." Jelas Dewan Kepala mengeluarkan semua kekesalan di dalam hatinya terhadap sosok dihadapannya yang sangat keras kepala.

"Bukan urusanmu." Eksekutif Dua berkata tegas. Giginya terdengar gemeretuk tanda menahan amarah.

"Aku pimpinanmu." Dewan Kepala membalas ucapannya.

"Tetap saja itu bukan urusanmu."

"Huft, dasar keras kepala." Sambil menghela nafas Dewan Kepala akhirnya menyerah mengintrogasi Eksekutif Dua yang nyatanya tidak pernah berubah dari dulu. Selalu saja ingin mempertahankan argumentnya.

"Aku tidak peduli dengan apa yang akan kau lakukan. Tapi, satu hal yang harus kau tahu."

"Bawahan yang merangkap menjadi pimpinan? Rasa-rasanya aku ingin tertawa. Mimpimu terlalu tinggi, bung." Emosi Dewan Kepala kembali tersulut ketika Eksekutif Dua tampak seakan meremehkan jabatan yang sedang dipegangnya.

Sebelum melanjutkan kalimatnya. Eksekutif Dua yang tadinya memalingkan wajah dari Dewan Kepala pun menolehkan kembali wajahnya yang tertutupi masker ke hadapan Dewan Kepala yang menatapnya benci. "Jangan menyentuhnya walaupun seujung kuku. Dia milikku. Jika terjadi apa-apa padanya. Maka, kau lah orang pertama yang akan aku datangi."

"Wow, cukup mengerikan. Tapi, aku tidak janji." Pungkas Dewan Kepala tidak peduli.

Merasa sudah cukup berdebat. Eksekutif Dua tanpa pamit langsung saja mengeluarkan dirinya dari ruangan khusus yang dihuni Dewan Kepala. Merasa geram jika masih berlama-lama di dalam sana. Karena Dewan Kepala dari kelompok mafia itu sangat menyebalkan, selalu saja ingin tahu apa yang sedang dilakukannya. Padahal, jika saja tanpa bantuannya saat itu. Dewan Kepala tidak akan bisa menggapai jabatan agung itu.

Dengan hati yang masih menyimpan amarah tuan Eksekutif Dua berjalan tergesa-gesa menuju ruangannya. Karena seseorang menunggunya di sana. Rencananya tidak akan berhasil jika saja dia terlambat untuk menemui orang itu.

"Sudah selesai dengan Dewan Kepala menyebalkan itu, tuan Eksekutif Dua?" Tanya sosok yang sedang menunggu itu.

Eksekutif Dua mendekatinya. "Baru saja selesai."

"Aku sudah memasang kamera mata-mata di ruangan bocah itu. Kamera itu akan tersambung ke ponselmu. Dan, dalam beberapa waktu lagi ke depan kita akan memulai rencana."

"Sesuai dengan yang kita bicarakan tadi pagi?" Eksekutif Dua memastikan.

"Tentu saja."

"Apa bocah itu akan kabur?"

"Itulah sebabnya aku merangkap menjadi pelayan dan memasang kamera pengintai diam-diam di kamarnya. Hal itu untuk memastikan bahwa dia masih dalam pengawasan kita. Anda jangan takut." Jelas wanita yang sedang merangkap menjadi pelayan tua.

"Baiklah. Aku percayakan semuanya padamu."

Wanita itu mengangguk patuh, "Sampai jumpa, tuan Eksekutif Dua."

"Untukmu juga, Kenaria Laxandra."


BENUAWhere stories live. Discover now