EPISODE XXVIII - PEMBUNUH

733 75 23
                                    


Jika dia menyakiti perasaanmu, maka dia juga membunuh kepecayaannya padamu. Jika dia mengusik ketenanganmu, maka dia siap menjadi korban pembunuhanmu.

"Pegang senapanmu dengan benar, nak." Ujar laki-laki paruh baya yang dulu pernah melatihnya.

Benua menatap malas laki-laki bertubuh besar itu.

"Aku sudah melakukan apa yang paman suruh." Ketus Benua.

"Bukan seperti itu," Laki-laki itu mempraktikan ulang cara menggunakan senapan dengan benar. "Tapi seperti ini."

"Apa bedanya? Tidak ada yang salah." Sungut Benua.

Laki-laki itu menatap lamat. Memperhatikan dalam mata Benua. "Sasaranmu akan meleset jika tanganmu salah memegangnya."

"Aku tidak biasa melakukan ini."

"Maka dari itu terbiasalah mulai sekarang." Laki-laki itu memaksa Benua. Kali ini langkahnya mendekati Benua.

Benua melempar senapannya. Kedua tangannya bersedekap dada. "Maksud paman menjadi pembunuh?" Teriaknya lantang.

"Iya." Tanpa beban laki-laki itu menjawab. Semakin membuat urat-urat di leher Benua terlihat.

Benua merasa nafasnya mulai memburu. Dikelilingi para mafia semakin membuat hidupnya berantakan. Demi meredam rasa perih di dada Benua menutup matanya kuat. Bibir bawahnya juga ikut Benua gigit.

"Aku bukan kalian. Aku tidak diajari oleh orang tua ku seperti ini." Ucap Benua geram.

"Kau harus melakukannya, nak."

Benua tidak mampu berdiri lebih lama lagi. Sedari tadi jantungnya terus meronta-ronta membuat tubuhnya kesakitan. Kakinya tidak kuat menahan beban yang semakin melemah. Benua menjatuhkan dirinya di lantai balkon. Kepalanya bersembunyi di dalam lutut. Tangannya merepal kuat. Berusaha untuk tetap sadar.

"Aku tidak mau membunuh orang tidak berdosa."

"Nak, kumohon. Jika tidak, Eksekutif Dua akan menyiksa kami." Laki-laki itu berkata dengan nada cemas. Menghampiri Benua yang terduduk lemah.

"Apa yang akan aku dapatkan? Kebebasan dari kalian? Omong kosong."

"Aku melakukan ini dengan terpaksa. Istri dan anak-anakku di rumah butuh uang untuk membeli makanan." Jelas laki-laki itu memohon di depan Benua.

"Cari pekerjaan yang lebih baik. Mengapa paman masih bertahan di tempat seperti ini?" Benua berteriak lagi. Matanya memerah menahan kesal.

Laki-laki itu tersentak kaget ketika Benua berteriak padanya. Apalagi dengan air mata yang sudah membasahi sebagian wajah Benua.

"Kau pikir aku tidak mencoba untuk kabur? Tetap saja hasilnya kosong. Mereka menangkapku kembali. Sama seperti dirimu saat ini." Balas laki-laki itu tidak kalah kesal.

Benua memalingkan wajahnya. Tangannya mengusap air matanya yang keluar. Rasa sesak di jantungnya membuatnya terlihat lemah di hadapan laki-laki ini. Benua tidak menyukai keadaannya saat ini. Sangat buruk.

"Aku tidak akan sanggup melukai mereka." Benua mengarahkan pandangannya ke bawah balkon. "Mereka tidak memiliki salah denganku."

Benua menatap iba orang-orang yang berada di bawah balkon, lebih tepatnya sebuah taman hijau. Sebagian dari mereka bersujud dan memegang telinga sedangkan yang lain berdiri tegap dengan raut muka ketakutan. Benua tidak menyangka dengan pemilik mansion ini, sang Eksekutif Dua yang selalu bersembunyi di balik masker hitamnya. Menjadikan nyawa sebagai bahan latihan hanya untuk pembelajaran tingkat akhir Black Roses.

BENUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang