EPISODE XXII - INFORMASI

739 75 9
                                    

Pesan berupa ucapan ataupun ekspresi yang bermakna dalam bagi seseorang yang penting. 

Canggung menyelimuti dua sosok manusia yang saling berdiam diri. Oksigen di dalam ruangan seakan habis karena di antara mereka belum ada yang berani untuk melontarkan kalimat duluan. Kena menatap canggung Benua. Sedangkan Benua masih menutup matanya seolah enggan untuk dibuka.

"Permisi, maaf telah mengganggu. Saya pelayan mansion ini. Tuan muda bisa memanggil saya bibi Dilraba." Ujar Kena dengan pelan.

Benua membuka matanya. Menatap wanita tua yang tengah menatapnya.

"Benua Leocadio Nicander." Sahut Benua memperkenalkan dirinya.

Kena bergeming. Tidak tahu harus melakukan apalagi selain diam.

"Bibi bisa memanggilku dengan Benua."

Kena yang sekarang sedang menyamar sebagai Dilraba si pelayan wanita tua pun mengangukkan kepala. Otaknya dengan cepat memikirkan apa lagi yang harus dilakukannya.

"Tuan muda, saya pamit izin kebelakang. Saya akan membuat bubur agar demam anda tidak semakin parah." Pungkas Kena dengan tubuh ditundukkan hormat.

Benua yang sedari tadi menatap Kena hanya diam saja membiarkan Kena pergi dari hadapannya. Sepeninggalnya Kena dari kamarnya membuat Benua tenggelam dalam kesepian. Hunian besar di dalam hutan belantara ini sudah menjadi rumahnya sejak tuan bermasker hitam menculiknya. Sudah sangat lama hingga Benua merasa bahwa takdirnya memang sedang mempermainkan dirinya.

"Aku lelah. Aku ingin pulang. Aku hanya ingin kakek dan kedua kakakku kembali." Gumam Benua sambil mengeratkan selimut tebal yang sedang dipakainya.

Kehidupan anak berusia 13 tahun yang menyedihkan. Anak seumurannya seharusnya merasa bahagia sekarang dirumahnya. Bermain bersama teman dan keluarganya. Melakukan semua yang dia inginkan. Termasuk menjahili seseorang dengan dalih untuk bersenang-senang. Benua tidak pernah dapat melakukannya. Tidak ada teman baginya. Keluarga yang menyayanginya hanya kakeknya dan Asia. Samudra selalu menunjukkan kebencian padanya. Benua sadar jika kakak sulungnya begitu sangat tidak menyukai kehadirannya di penthouse Nicander.

"Akhir-akhir ini aku sering menangis." Benua kembali bergumam.

Benua bangkit dari tidurnya. Duduk bersandar di kepala ranjang. Mengamati luka-luka goresan cambuk di kedua tangan dan kakinya. Belum lagi jika bajunya dibuka, maka disana juga tidak kalah banyak yang tampak diluar.

"Ini sangat pedih jika terkena sentuhan." Lirih Benua mengelus salah-satu luka goresan di tangannya.

Waktu semakin beranjak malam. Bulan purnama sudah sempurna menggantung indah di langit gelap yang terang. Penuh dengan bintang-bintang kecil yang saling mengedip satu sama lainnya.

"Kapan aku keluar dari sini?" Tanya Benua sembari melihat salah-satu bintang paling bersinar malam ini.

Benua tersenyum senang ketika awan hitam menutupi bulan pernama. Sehingga cahaya paling terang di langit malam itu tidak terlalu tampak.

"Bulan, sinarmu paling terang. Tapi, sekarang sedikit redup karena tertutup awan. Jangan takut, nanti sinarmu akan kembali."

Benua diam memperhatikan langit malam yang indah. Sesuatu menghampiri ingatannya. Sekelebatan bayangan papa dan mamanya bersama kedua kakaknya. Mereka berlima sedang berada di dalam mobil. Tawa dan senyum menyelimuti mereka. Tidak ada rasa benci dan kesal. Semuanya tampak baik-baik saja. Mengingat hal itu membuat kepalanya berdenyut.

BENUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang