EPISODE XXV - CANGGUNG

728 73 9
                                    


Canggung itu karena tidak terbiasa. Bukan seperti akrab yang tercipta karena kebersamaan. Keduanya berbeda tapi memiliki persamaan. Mencoba dekat agar jalinan yang dibuat semakin kuat.

Cahaya kuning hinggap menembus kaca jendela. Menerobos masuk melalui cela pentelasi. Meraba empat orang yang masih menutup mata. Menyisahkan hening yang terus mengambang. Menantikan mereka yang tertidur untuk segera bangun. Suara jam dinding begitu mendominasi. Furniture ruangan itu mengamati mereka dalam diam. Tidak tahu harus menunggu berapa lama lagi untuk sadar.

Gerakan kecil pertama kali terlihat dari remaja manis yang sedang mengeliat di atas tempat tidurnya. Terangnya ruangan baru bisa dia rasakan ketika membuka mata. Tidak terlalu lebar tapi cukup untuk mengerti bahwa itu sinar matahari. Remaja manis itu sibuk mengucek matanya beberapa kali. Bahkan dia belum menyadari bahwa sekarang di dalam ruangan itu masih ada tiga orang lagi.

"Sudah pagi ternyata." Ucapnya lirih.

Saat akan bangun dari tempatnya berbaring. Matanya tidak sengaja melihat seseorang di sebelahnya dengan keadaan memungguinya. Belum sepenuhnya kesadarannya terkumpul. Matanya juga melihat dua orang lagi yang sedang mengistirahat tubuhnya di atas sofa. Wajah keduanya tidak terlalu tampak. Karena tertutupi selimut tebal sampai melampaui kepala.

Keningya mengerenyit heran. Dia bingung. Bagaimana bisa dia ada di sini? Siapa yang membawanya? Apa yang terjadi tadi malam? Semua pikiran itu berkecamuk dalam kepalanya.

Remaja manis itu menegakkan tubuhnya. Melepas selimut tebal yang menyelimutinya. Sesuatu yang lembab masih menempel di keningnya. Ternyata sebuah handuk kecil. Saat akan bergerak turun. Tubuhnya seketika nyilu. Dia merasakan pergerakan luka di bagian atas tubuhya. Sangat perih, pedih, bahkan saat luka itu bersentuhan dengan baju yang dikenakaannya terasa begitu menyakitkan.

"Ugh, sakit sekali." Remaja manis itu meringis.

"Dimana yang sakit?" Salah-satu dari yang di sofa mendekat.

Remaja manis itu terdiam cukup lama. Suaranya seakan tersangkut di tenggorokan. Melihat seseorang yang berada di depannya. Rasa rindu yang sudah lama tertahan seakan ingin sekali memeluk orang itu. Tapi, rasanya sangat segan menyatakaanya secara langsung. Apalagi meminta masuk dalam dekapannya.

"Kakak bertanya padamu, Benua. Beritahu kakak jika lukamu sakit kembali." Samudra duduk di sisi Benua yang kosong. Kedua mata mereka saling menatap.

Remaja manis itu adalah Benua.

"Apa kepalamu tersantuk di benda keras tadi malam?" Tanya Benua heran.

Samudra mengambil handuk kecil yang masih menempel di kening Benua. Meletakkan handuk itu di dalam baskom air di atas nakas.

"Aku menyelamatkanmu tadi malam." Samudra berusaha untuk tersenyum. "Aku menunggumu sadar. Berharap panas tubuhmu menurun."

Benua memejamkan matanya. Mencoba menteralisir keadaan hatinya yang berdenyut sesak. Benua sangat yakin Samudra yang ada dihadapannya sekarang berbeda dengan Samudra yang terakhir kali ditemuinya.

"Apa kepalamu pusing? Ingin tidur kembali? Harusnya kau beristirahat lebih lama lagi agar benar-benar sehat." Samudra hendak membantu Benua agar tidur kembali.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Benua menepis tangan Samudra.

"Apa maksudmu?"

"Sudahlah. Aku tahu kau pasti punya niat tersembunyi dengan menyelamatkanku." Benua turun dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah mendekati pintu.

BENUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang