Prolog

29.4K 1K 41
                                    

Aku tersenyum miring menatap benda kecil ditangan ku. Aku sudah menyangkanya, dan ternyata benar. Mataku memanas, air mata di pelupuk mataku ku tahan mati-matian untuk tidak jatuh.

Aku kehilangan semuanya. Semesta membalas keangkuhanku dengan jalan penuh liku yang ada di depan mata. Aku di hukum atas semua suka yang diberikan Tuhan. Aku terlalu menikmati jalan yang Tuhan pilihkan tanpa berpikir semua itu ada batasnya. Aku melewatinya tanpa menyesal selama ini.

Aku menggenggam erat benda yang mati-matian aku hindari sejak satu bulan yang lalu. Benda yang memberitahuku bahwa aku sudah melakukan kesalahan besar dalam hidup. Aku masih 20 dan harus menanggung tanggungjawab yang belum mampu ku pikul. Aku menggantungkan sebuah nyawa di pundakku yang bahkan menanggung berat hidupku sendiri saja belum mampu.

Aku meraih kenop pintu dengan tangan bergetar. Sebuah tatapan mata langsung menghujamiku dengan penuh pertanyaan. Pria itu sama paniknya denganku semestinya.

"Gimana?"

Aku mendekatinya. "Lihat aja sendiri!" Kataku sambil mengulurkan benda keparat itu padanya.

Dia diam. Termangu di depanku tanpa bicara apa-apa. Matanya menatap tajam benda yang ku ulurkan padanya.

"Kenapa diem?!" sergahku saat dia malah mendudukkan dirinya di sofa tanpa mengambil benda itu dari ku. Dia mengusap wajahnya frustasi. Aku paham perasaannya. 

"Brengsek!" Aku melempar benda itu padanya. Air mata yang ku tahan akhirnya tumpah ruah.

Aku sama sekali tidak menyalahkan dirinya. Semua kita lakukan berdua. Aku juga turut andil dalam hal ini. Aku paham betul bagaimana perasaanya. Dia sama kacaunya denganku.

Ini bukan wujud dari aku menyalahkan dirinya. Atau menganggap bahwa semua ini ada salahnya. Tidak. Aku hanya khawatir tentang bagiamana kita setelah ini.

Dia mendekatiku. Memelukku, membawa wajahku kepada dada bidangnya. Aku menurut, tak ada yang bisa ku lakukan. Meski dia satu-satunya biang dari kesakitan ini, dia tetap menjadi rumah ternyamanku untuk pulang.

"Aku tanggungjawab. Aku nggak akan lari. Kamu jangan khawatir. Kita bisa nikah secepatnya, besok pagi kalau perlu." Katanya dengan lantang. Meski begitu aku bisa dengar getaran pada suaranya. Dia tidak sekokoh itu untuk menanggung segala kesedihanku. Penyesalannya pun tidak sebanding dengan penyesalanku  sekarang. Itu membuatnya semakin menanggung beban yang begitu berat.

"Ini bukan hanya masalah nikah. Tapi tetang tanggungjawab yang harus kita pikul seumur hidup! Dan aku nggak sanggup menanggungnya." Aku melepaskan pelukanku dengan paksa, menatapnya dalam. "Aku nggak mau dia lahir."

Semua bisa jadi kejam dalam keadaan paling buruk. Dan aku sudah berubah jadi monster mengerikan sekarang. Aku tidak bisa menutupi ketidakberdayaanku. Satu-satunya cara adalah berubah jadi monster agar tetap terlihat kuat meski kaki pun sudah tidak mampu menahan tubuh.

"Sya!" Teriakannya benar-benar membuatku terkejut. Dia marah. Selama bersamanya, aku hanya bisa melihat dia marah beberapa kali saja. Ku rasa ini yang paling parah.

"Aku tanggungjawab!" Tegasnya sambil menggoncang tubuhku. Tangannya mencengkeram kedua lenganku dengan kuat. "Aku yang akan tanggungjawab atas kehidupannya!"

"Apa yang kamu mau pertanggung jawabkan, Jeff? Bilang!" Aku memukul dadanya tanpa ampun. "Aku nggak bilang kamu harus menanggungnya. Kita hanya perlu diam dan menyingkirkannya."

Jeffrey, laki-laki yang sedang beradu argumen dengan ku ini bernama Jeffrey. Kekasihku sejak dua tahun yang lalu. Asisten dosen di tempatku menutut ilmu kedokteran di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Dan dia seorang dokter residen bedah yang bahkan untuk memperjuangkan hidupnya saja butuh perjuangan yang begitu berat.

CIRCLE | JaehyunWhere stories live. Discover now