26

3.9K 387 57
                                    

Selama perjalanan ke rumah aku dibuat banyak tertawa dengan cerita dan lelucon Jeno yang sebenarnya garing. Aku tertawa bukan karena merasa lucu, tapi karena lelucon garingnya itu menggelitik perutku. Jeno itu sekaku itu, pantas saja dia sampai sekarang belum punya pacar.

Sudah lama sekali aku tidak menikmati waktuku sendiri. Rasanya tidak ada waktu hanya untuk sekedar menghela napas. Dan baru kali ini bersama Jeno, aku seperti mendapatkan apa yang hilang dariku akhir-akhir ini. Ya meski hanya sebentar, aku sangat berterima kasih pada Jeno.

Memang begitu ya. Hal-hal rutin yang dulu kita anggap biasa saja, ternyata bisa menjadi hal yang begitu menyenangkan di kemudian hari. Padahal dulu setiap hari aku selalu nongkrong dan itu menjadi hal yang kadang membosankan. Tapi sekarang, bisa duduk selama setengah jam di cafe sambil menikmati secangkir kopi bisa membuat aku sebahagia ini.

Aku sekarang jadi paham jika apa yang kita jalani sekarang ini harus dinikmati. Sesulit apapun jalannya, jalan cerita kita sekarang akan kita rindukan mungkin satu bulan, satu tahun, atau sepuluh tahun lagi. Kita tidak tahu apa yang akan semesta tuliskan untuk kita, jadi jalani dan syukuri saja semua yang menjadi takdir kita hari ini.

Mungkin sekarang aku sedang banyak diuji. Tapi siapa tahu besok semuanya jadi sangat membahagiakan. Bahagia pun tidak akan menjadi sesuatu yang selamanya membersamai. Kadang luka diciptakan untuk membuat ku menjadi manusia yang kuat dan pandai bersyukur. Meski aku sendiri kadang sering mengeluh dan marah dengan hal-hal yang menyebalkan.

Contohnya Ibu.

"Mbak, kok lama pulangnya?"

Suara Ibu yang keluar dari pintu kamar tamu membuatku berhenti. Pasti mau cari gara-gara lagi. Padahal ya aku baru memasuki rumah bersama Jeno. Belum juga sempat menghela napas, Ibu sudah ingin mencercaku saja.

"Iya, Bu. Tadi kan antri dulu." Jawabku.

Aku tidak berbohong kok. Memang karena aku datangnya sudah agak terlambat, aku mendapat nomor antrian dengan angka besar. Lagian aku hanya keluar sekitar empat jam.

"Yakin? Nggak main dulu?"

Tuh kan, menyebalkan.

"Iya. Tadi ngopi sebentar sama Jeno, Bu."

Aku menjawab sekedarnya. Tidak mau berlama-lama disana karena pasti yang ada aku akan ribut lagi dengan Ibu. Heran sih, kenapa ya semua yang aku lakukan selalu terlihat salah di mata Ibu. Kenapa harus semua dikomentari.

"Kamu nggak mikirin anak kamu? Stok ASI nya udah habis sejak sejam yang lalu."

Suara Ibu terdengar sangat menyebalkan. Aku hampir saja meledak sebelum Jeffrey menyentuh lenganku dan mendorongku untuk segera menaiki tangga.

"Ibu bisa nggak sih, nggak usah bikin keributan?"

Itu Jeno. Jeno menatap Ibu kesal. Aku dan Jeffrey saling pandang, bingung dengan reaksi Jeno yang tidak biasa. Ibu juga langsung diam dan menatap heran anak bungsunya itu.

"Biarin Mbak Nesya bahagia sebentar aja nggak bisa?" Suara Jeno terdengar lebih keras. Membuat Bapak yang tadi di dapur ikut keluar.

Mood Jeno bisa seanjlok itu. Padahal saat kita berdua tadi dia yang menjadikan suasana jadi menyenangkan. Senyumnya yang lucu tidak pernah lepas dari wajahnya bahkan sampai sebelum Ibu bersuara mencerca ku.

"Jen?" Aku ingin melangkah turun lagi dari tangga, namun Jeno buru-buru bersuara lagi. Membuat aku kembali terhenti di tempat. Jeno terlihat sedikit menyeramkan saat sedang kesal.

"Bu, harusnya Mas yang nggak pantes dapet istri sebaik Mbak Nesya. Bukan Mbak Nesya yang nggak pantes dapet Mas." Kata Jeno lagi. "Harusnya Mbak Nesya ketemu aku aja kali ya, biar nggak nikah sama kakakku yang brengsek."

CIRCLE | JaehyunWhere stories live. Discover now