16

4.3K 441 11
                                    


"Kamu yakin nggak mau ikut?"

Jeffrey menggeleng menolak ajakan ku untuk menemani Jeno mencari perlengkapan ospek. Dia malah mengeratkan pelukannya pada guling dan bersembunyi di dalam selimut. Namun matanya masih terus melihat acara TV di depan sana.

"Aku mungkin sampai sore." Kataku lagi sambil mengambil tasku. Jeffrey hanya mengangkat tangannya sambil membuat huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. "Tapi aku nggak masak, kamu makannya gimana? Mau aku masakin dulu?"

"Nanti goofood aja." Kali ini dia menoleh, mendongak melihatku. Matanya yang berkantung itu menandakan bahwa dia terlalu lelah. "Nanti minta Jeno yang bawa mobilnya." Aku hanya mengangguk, Jeffrey kembali lagi dengan rutinitasnya.

"Tidur, jangan nonton TV terus." Aku melenggang keluar setelah itu. Dan segera pergi ke kos Jeno.

🌿🌿🌿🌿

Aku melihat Jeno keluar dari ruangan dengan baju putih dan celana hitam khas maba itu takjub. Meski hanya dengan begitu pun dia masih terlihat tampan. Tanpa berpikir dua kali aku mengacungkan jempolku pada Jeno. Dia tersenyum lalu kembali masuk ke ruang ganti.

Seragam adalah barang terakhir yang harus kita beli. Semua perlengkapan seperti sepatu dan barang-barang yang harus dibawa besok sudah terkumpul semua setelah memutari Mall hampir empat jam. Dan sekarang sudah hampir jam dua siang.

"Mau makan dulu?"

"Boleh. Mbak laper ya?" Jeno memelankan langkahnya. Dia menatapku dengan tatapan bersalah. "Maaf ya mbak, aku yang ospek mbak yang ikut ribet."

Aku tertawa pelan, "nggak ribet. Lagian dari kemarin aku juga bosen di rumah terus."

Akhirnya aku dan Jeno memilih sebuah restoran fast food. Pilihan Jeno, katanya takut membuatku semakin lelah karena di restoran lain cukup lama mengantre. Aku hanya menurut, Jeno mungkin terlalu sungkan setelah ku temani mencari perlengkapan nya. Dia sangat memikirkan orang lain, sama seperti Jeffrey.

"Makasih ya Mbak."

Aku tertawa pelan, "kamu udah ngomong berapa kali sih, Jen? Udah santai aja." Aku menyodorkan pipet yang baru saja aku buka bungkusnya. "Karena aku udah nikah sama Jeffrey, anggep aja aku juga kakak mu. Aku nggak ada bedanya sama Jeffrey."

Jeno hanya mengangguk. Dia memulai makannya dengan tenang. Tak cukup waktu lama, kurang dari sepuluh menit berlalu dan makanannya sudah habis. Padahal punyaku masih setengah.

"Kamu punya pacar?" Jeno tersedak. Dia sangat gugup mendengar pertanyaan ku. Padahal aku hanya bertanya. "Nggak papa kali, Jen. Udah waktunya juga." Aku mencoba membuat Jeno nyaman. Toh memang sudah waktunya untuk Jeno punya pacar.

"Aku masih melek waktu lihat cewek cantik, tapi aku nggak tertarik pacaran. Gimana dong?"

Aku terkekeh mendengar Jeno yang bingung dengan dirinya sendiri. "Kenapa? Coba aja sesekali." Aku masih mencoba memberi keyakinan pada Jeno. "Aku dengar, kamu belum pernah punya pacar."

"Mas Rama mah sok tau!" Jeno mendengus kesal.

"Bukan dari Jeffrey, tapi dari Ibu." Bisikku membuatnya sedikit terkejut. Aku memang dengar itu dari Ibu, meskipun aku juga udah pernah dengar dari Jeffrey.

"Ibu mana tahu aku pacaran. Bisa dihajar Bapak kalau sampai tahu." Jeno malah terkekeh sendiri setelah mengatakan itu.

"Berarti pernah pacaran?" Aku menggodanya.

CIRCLE | JaehyunWhere stories live. Discover now