34

5.3K 528 86
                                    

Kata Fiersa Besari, dewasa itu bukan sejalan dengan umur, melainkan sejalan dengan masalah hidup.

Di akhir usia 21 tahun, aku sudah harus jatuh bangun demi bertahan hidup. Sedangkan di luar sana, teman-teman seusiaku masih sibuk kuliah, masih sibuk membangun masa depan dan mencari identitas dirinya. Selalu ada rasa iri setiap melihat laman sosial media milik teman-temanku dulu. Rasanya kenapa harus aku yang menjalani hidup serumit ini.

Awalnya aku pikir semesta begitu baik denganku. Memberiku keluarga selengkap dan sesempurna keluargaku. Mengirimkan Jeffrey sebagai tempatku berbagi cinta dan kasih. Dilimpahi teman-teman baik seperti Haikal dan Vinia.

Tapi ternyata aku salah. Tidak ada yang sempurna. Perlahan tapi pasti semua akan ada pada di titik jenuh. Satu-persatu akan mulai berubah. Entah orang-orangnya atau cerita di dalamnya.

Dan mungkin ini adalah titik terburuk yang ada dalam hidupku. Menyadari bahwa orang-orang terdekat yang aku anggap sebagai alasan aku bahagia ternyata menghancurkan ku satu-persatu. Mereka yang dulu berperan dalam menciptakan bahagia bersamaku sekarang berubah menjadi pemeran antagonis di hidupku.

"Kamu kenal? Dia yang kerja sama dengan Kayla untuk ngikutin kamu waktu di Mall ketemu aku."

Aku masih ingat saat sore kemarin, Doren menyodorkan sebuah foto dari galeri ponselnya. Ia memperlihatkan satu sosok gadis yang sangat tidak asing bagiku. Teman yang aku anggap seperti saudara sendiri ternyata menusukku dari belakang. Menjadi salah satu penjahat yang berusaha menghancurkan jalan ceritaku bersama Jeffrey.

Vinia.

Aku tidak tahu jika Vinia mengukutiku saat itu. Ia bahkan turut berkomentar saat melihat instastory yang aku upload sebelum pergi ke Mall. Ia bilang dia ingin ke Candi Sambisari kala itu, tapi ia sedang kerja. Ternyata dia hanya berbohong dan sengaja mengelabuhi ku agar aku tidak curiga.

Entah lah, aku hanya bisa menangis sore itu. Aku merasa begitu hancur dihianati oleh orang terdekatku sendiri. Aku sendiri bingung, aku marah tapi aku tidak tahu harus bagaimana meluapkan marahku pada Vinia. Karena sebelum berubah sejahat itu, dia sosok yang selalu ada di sampingku.

Masalah ekonomi memang jahat. Merubah seseorang yang begitu baik menjadi iblis semudah membalikkan telapak tangan. Vinia butuh uang, keluarganya sedang terpuruk. Ayahnya masih butuh biaya untuk terapi karena penyakit Stroke yang diderita. Vinia juga masih punya adik yang harus dibiayai sekolahnya. Namun aku tidak menyangka demi muncukupi ekonomi keluarganya ia tega mengorbankan aku sebagai tumbal.

"Sorry. Kamu pantas benci aku."

Sekarang pun saat dihadapkan langsung dengan Vinia, aku hanya bisa diam terisak. Aku bahkan tidak mampu menatap matanya. Semua penjelasan tentang alasan kenapa ia mau dijadikan kacung oleh Kayla akhir-akhir ini membuatku tidak bisa menyalahkannya. Apalagi setiap melihat Vinia, memori yang selama ini aku tulis bersamanya seperti berputar kembali di kepalaku. Rasa-rasanya aku masih tidak percaya Vinia sejahat itu.

"Kal, aku mau pulang."

Aku menyentuh lengan Haikal yang duduk di sampingku. Kepalaku sudah mulai pening karena hanya bisa menangis sejak tiba disini. Laki-laki itu juga sangat marah pada Vinia. Ia tidak menyangka jika pertemanan kita bisa dibeli hanya dengan nominal uang yang tidak seberapa.

"Ayo." Haikal menuntunku untuk berdiri. Mungkin hanya dia yang tidak berubah untuk sekarang ini.

Aku berbalik sebentar dan memberanikan diri melihat Vinia yang tengah menunduk di kursinya. Aku sedang ada di cafe tempat ia bekerja, aku tidak bisa membuat keributan karena bisa saja Vinia kehilangan pekerjaannya.

"Aku maafin, tapi aku nggak bisa lupa."

--

Jalanan Jogja tengah lengang saat aku dan Haikal memutuskan untuk meninggalkan cafe tempat Vinia bekerja. Cafe itu terletak di Jogja bagian utara, tepatnya di Jalan Kaliurang atas yang udaranya masih begitu sejuk. Sore ini mendung dan udara semakin dingin saat motor Scoopy milik Haikal ini menuruni jalanan yang berkelok-kelok.

CIRCLE | JaehyunWhere stories live. Discover now