7. Penasaran

51.4K 3.4K 75
                                    

Raisa tersenyum geli mengingat kejadian tadi. Ternyata apa yang ada di fikiran Raisa berbeda dengan kenyataan nya. Dia kira Angkasa akan membunuhnya, menjual nya ataupun meminta tebusan kepada orang tuanya. Ternyata fikiran nya kejauahan, Angkasa adalah orang yang baik. Bahkan mereka sempat bercanda gurau di teras rumah itu. Lain dengan jantung Raisa yang berdebar kencang ketika bersama Angkasa, dia dapat merasakan perbedaan itu. 

“Raisa, kamu sudah makan siang?” Alina-Mamanya memasuki kamar bernuansa biru pink itu. “Kenapa senyum-senyum terus dari tadi sih?” Alina duduk di tepi kasur, memberikan beberapa bungkus obat kepada Raisa. 

“Minum obat dulu, ya?” Tangannya tersodor memberikan obat putrinya untuk di minum hingga habis. “Tangan kamu udah bengkak, nanti cuci darah. Papa dan Mama baru bicara dengan dokter untuk ganti jadwal cuci darah kamu.” 

Raisa Putri. Perempuan yang berjuang keras melawan penyakit Ginjal nya. Melawan semua rasa sakit yang sudah dia derita dari kecil. Kesalahan orang tua yang terlambat melakukan penanganan pertama, membuat kondisi kedua ginjal Raisa sudah rusak. Dan kabar buruknya adalah, dokter memvonis umur Raisa hanya tinggal beberapa bulan lagi, karena sudah stadium akhir. Belum lagi Ginjal nya harus cocok dengan tubuh Raisa agar bisa di terima oleh tubuh. Bukan hanya biaya yang mahal untuk di keluarkan, tetapi mencari pendonor yang pas, dan sehat, itu susah. Bagi Raisa, dia ingin menyerah saja. 

“Ma, Raisa bosan cuci darah terus,” katanya dengan merengek. “Kemarin aja dokter sampai bingung, mau di suntik di mana lagi. Karena masih ada bekas lukanya, dan belum kering.” Katanya lagi. 

“Nanti bicara sam Dokter ya,” Alina mengusap kepala itu. “Mama sama Papa berusaha cari pendonor untuk kamu. Kalau kamu nya males-malesan buat cuci darah, gimana mau sembuh? Kalau Papa tau kamu males cuci darah, dia bisa marah sama kamu. Emang kamu mau buat Papa marah?” tanya Alina kepada putrinya. 

Raisa menghela nafas. Dia sudah bosan untuk melakukan cuci darah. Jangankan untuk cuci darah, Raisa saja sudah bosan masuk Rumah sakit. Bau nya sangat menyengat, kalangan yang berada di rumah sakit hanyalah para orang tua. Dia jarang mengobrol dengan para pasien yang seumuran dengannya. Paling saja para perawat ataupun dokter yang merawatnya. 

Raisa memang selalu tidak ingin membuat Papanya kecewa. Raisa tidak bisa melihat Papa nya terlihat sedih ataupun marah. Raisa tau seberapa besar perjuangan Papa nya untuk membuat nya sembuh. Penyakit yang sudah Raisa derita dari kecil., rasanya jika melihat Papa nya sedih, membuat hati Raisa hancur. Apalagi melihat jelas raut wajah khawatir keluarganya, itu membuat hatinya seperti di robek secara paksa. 

“Kenapa Raisa?” Riza-Papanya memasuki rumah itu. “Tadi kamu pulang sama siapa? Naik angkutan umum atau minta jemput abang kamu? Hm?” 

Raisa menggenggam tangan Alina, bahkan Mama nya mengedipkan mata sebelah lalu tersenyum. “Sama temen. Tadi di anterin sampai rumah. Cuma sebelum Papa dan Mama pulang, dia udah balik ke sekolah. Jadi ngga sempet ketemu,” balas Raisa berbaring din pangkuan Riza. 

“Tadi kenapa bisa pingsan di sekolah? Kamu ngapain emang? Kecapekan?” tanya Riza asal menebak. Dan Raisa mengangguk ucapan itu. 

“Tadi di hukum karena gak ngerjain PR, dan di suruh berdiri di lapangan,” kata Raisa. “Tapi Raisa tau kok kalau itu salah Raisa, harusnya Raisa ngerjain PR tepat waktu supaya ngga di hukum.” 

“Makanya kalau ada tugas, lakukan lebih awal, nanti baru bisa seneng-seneng, supaya tugas kamu ngga numpuk.” Alina menimpalinya. “Katanya laki-laki Mas, yang mengantar Raisa pulang ke rumah,” kata Alina.

“Laki-laki?” Riza menunduk melihat Raisa yang menyengir. “Tadi kita di hukum berdua soalnya, Pa. Terus waktu Raisa pingsan, dia yang antar Raisa, pakai mobil sekolah. Di sekolah ada fasilitas mobil untuk para pekerja nya. Keren banget deh.” Sahut Raisa. “Mobilnya bagus banget lagi.” 

ANGKASA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang