26. Terungkap

35.2K 2.2K 50
                                    

Raisa merasakan rasa yang amat nyeri mendera kepalanya bersamaan dengan rasa sakit ditubuhnya. Darah yang keluar dari hidung Raisa, tidak ada henti-hentinya untuk berhenti. Sedari tadi Raisa merasa tidak enak badan. Berulang kali Raisa terus kekamar mandi dan meminta izin. 

Sahabatnya hanya menatap Raisa dengan perasaan cemas. Mereka sudah mengingatkan Raisa untuk tetap beristirahat di ruang UKS, tetapi Raisa tetap kekeh pada pendiriannya, dan kembali kekelas untuk belajar. Ada perasaan curiga menatap Raisa, ketika ditanya, Raisa hanya menggeleng dan mengatakan bahwa Raisa baik-baik saja. Padahal mereka tau, Raisa tengah sakit saat ini. 

Raisa menatap sekitar dengan pandangan yang sudah memburam, dia mencoba menahan sakit yang secara bersamaan memborbardir dirinya. 

Kedua ginjal Raisa sudah rusak, dan sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh kecuali dengan bantuan pendonor ginjal. Hanya saja mencari pendonor ginjal amat susah, dan harus cocok dengan tubuh pasien pengidap sakit ginjal. Sebelumnya, hanya satu ginjal Raisa yang rusak, tetapi karena terlambat didiagnosa, hal itu menjadikan kedua ginjal Raisa menjadi rusak parah. 

Fungsi ginjal yang seharusnya menjadi penyaring racun dalam tubuh, kini sudah tidak berfungsi. Cuci darah dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal itu sendiri, walaupun begitu biaya cuci darah amatlah mahal, dan dia juga harus melakukan hal itu dengan rutin.

Raisa hampir menyerah hanya karena penyakitnya yang sudah lama. Raisa sudah tidak kuat menahan penyakit yang dia rasakan dari kecil. Masa kecil Raisa hanya terpaku pada rumah sakit, dan ruang cuci darah yang sudah menjadi rumah kedua baginya. 

“Lo bener gapapa, Sa?” tanya Riri. 

“Gue gapapa.” Balasnya. 

Mereka masih tidak percaya dan saling melempar pandangan nya satu sama lain. Tiara mengangkat kedua bahunya, ketika Kania menaikan sebelah alisnya untuk bertanya kepada Tiara. Karena Tiara dan Raisa juga dekat, mereka sering pulang bersama menggunakan angkutan umum karena rumah Raisa dan Tiara yang tidak terlalu jauh. 

“Lo pulang aja, Sa. Gue bilang Angkasa, ya?” kata Tiara. “Nanti Angkasa yang antar lo.” 

“Gue baik-baik aja, Ra. Gue cuma pusing, ini kan udah biasa,” balas Raisa dengan suara serak membalasnya. 

“Tapi gue gak tega sama lo, Sa. Lo mimisan terus, mending pulang deh, nanti gue absenin lo pelajaran Bu Yuni,” balas Tiara. 

“Dibilang gue gapapa, Ra. Gak usah bawel,” Raisa memajukan bibirnya beberapa senti, “Kalian juga udah gak asing gue kayak gini, dan buktinya gue masih baik-baik aja.” 

“Tapi lo pucat banget, Sa. Kayak mayat,” celetuknya. 

“Hus!! Tiara kalau ngomong gak pernah disaring!!” sahut Kania kesal. “Udah deh, Sa. Lo nurut aja sama kita, ini kan buat kebaikan lo juga.” Balasnya. 

“Kita tuh gak mau lo kenapa-napa, Sa....” lanjut Kania. 

“Biar gue ke ruang kelasnya Angkasa,” saat Tiara ingin bangkit, Raisa sudah mencegahnya dengan cara menahan tangan Tiara hingga Tiara kembali terduduk dikursinya. 

“Angkasa gak akan peduli, Ra. Gak usah.” Raisa merapikan tumpukan bukunya yang berada diatas meja, memasukan nya bersamaan kedalam tas. 

ANGKASA (END)Where stories live. Discover now