[2]Ia sudah berusaha

14.5K 1.1K 52
                                    

"Nilaimu ini kok gak ada bagus-bagusnya, jauh banget dari nilai Wira. Udah Ayah bilang, jangan banyak main, nongkrong-nongkrong gak jelas gitu emang apa faedahnya?" Pria paruh baya itu menatap lekat ke arah si pelaku. Yang di tatap malah menundukkan kepalanya, tak berani menatap sorot mata hitam sang Ayah.

"Kriteria nilai yang Ayah mau itu bukan kayak gini, Delapan puluh itu bener-bener nilai sampah. Malu saya punya anak bodoh!" Danu benar-benar emosi. Sampai tak menyadari telah menorehkan luka pada hati anaknya. Setelahnya, pria itu melemparkan kertas ulangan tepat pada bocah itu.

"Perbaiki nilaimu selanjutnya, atau uang bulanan kamu Ayah potong." Danu melenggang pergi dari kedua bocah kembar itu. Pria itu memang tidak pernah main-main dengan ucapannya, ia akan melakukan apapun jika keinginannya tidak terpenuhi.

Sang Ayah memang se-protective itu terhadap nilai. Ia selalu menuntut anak-anaknya menjadi sepintar dirinya, bahkan lebih. Semua vasilitas belajar sudah ia jamin, jadi ia akan benar-benar marah jika anaknya tak bisa mendapatkan nilai yang memuaskan hatinya.

Naka yang paling sering terkena amukan Danu, karena memang nilainya yang selalu kurang sempurna. Sedangkan Wira, setiap ulangan dirinya yang akan selalu menjadi kebanggaan sang Ayah, karena nilainya tak pernah mengecewakan.

Naka tidak bodoh, hanya saja rasa malasnya lebih besar dari Wira. Hingga nilainya selalu dibawah Adiknya itu.

Bocah jangkung bersurai hitam itu tersenyum sendu melihat kertas ulangannya yang tergeletak begitu saja. Usahanya bahkan tak dihargai sama sekali, hasil belajar mati-matiannya selama ini tak dihiraukan oleh sang Ayah.

Naka meremat kertas itu. Kemudian, menyimpannya disaku hoodie.

"Wiy, gue keluar bentar ya," ucapnya, seraya beringsut bangun.

"Mau kemana?"

"Jalan-jalan aja bentar, jernihin pikiran. Mau ikut lo?"

"Gak. Pulangnya jangan kemaleman, nanti Ayah marah lagi."

"Maghrib gue balik kok"

Wira hanya berdehem mendengar jawaban sang kakak. "Omongan Ayah yang nyakitin gausah dimasukin ke hati."

Sifat Wira memang seperti itu, diluar saja dingin dan seolah tak peduli. Nyatanya, dibalik itu ia menyiratkan perhatian dan kekhawatiran.

Pemuda yang sudah berdiri itu tersenyum hangat. "siap, gue keluar dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

***

Tak sepenuhnya mencari angin, Naka memang sedang ada keperluan. Ia mengendarai motornya diatas rata-rata, hingga ia tiba di sebuah bengkel motor yang sedang ramai pengunjung saat ini.

"Sory bang, Naka telat. Tadi ada urusan negara." Lelaki itu membuka helm fullface miliknya dan merapihkan rambut yang sedikit berantakkan.

"Gaya mu, Ka. Udah sana masuk, temenmu udah nunggu dari tadi tuh."

"Orang penting emang selalu ditungguin, yaw."

Gery menggeleng-gelengkan kepalanya, "Narsis kamu." Kemudian pria itu berlalu meninggalkan Naka.

Ini adalah sebuah bengkel besar milik Gery, dan sudah selama tiga hari inilah sepulang sekolah Naka bekerja ditempat ini. Sepertinya, ini juga yang mempengaruhi nilainya. Karena, memang selama ia bekerja di bengkel, tak pernah ada waktu luang untuk dirinya belajar.

Remaja laki-laki itu akan datang ke tempat ini pukul tiga, setelah pulang sekolah. Kemudian, selesai pukul Enam dan setelah itu ia akan mengistirahatkan tubuhnya sebentar di salah satu rumah sahabatnya, entah itu Fano, Aldo atau Alby. Dan ia akan pulang pukul tujuh sebelum sang Ayah pulang. Namun, setelah itu Naka akan memaksakan diri untuk belajar.

TANAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang