[25]Harap

11.1K 1.2K 370
                                    

Vote and follow jangan lupa!

Jika kalian bertanya pada Naka soal bahagia. Maka jawabannya adalah keluarga. Naka ingin hidup layaknya Wira, yang bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari Ayah, Bunda.

Tapi, ini hidup Naka bukan Wira. Jadi, jelas saja jika garis takdir mereka berbeda. Naka selalu berpikir kembali, tak seharusnya ada perasaan iri. Ia percaya, bahwa tuhan pasti menyematkan bahagia dalam takdir hidupnya. Entah kapan akan merasakannya, karena sampai saat ini, perihal itu masih menjadi sebuah rahasia.

"Ayah sebenernya sayang Naka. Cuma, bisa nggak jangan selalu cari perhatian didepan orang-orang. Itu malah bikin Ayah kesel sama kamu."

Sepulang sekolah tadi, Danu benar-benar menepati ucapannya. Ia menjemput Naka, bahkan dengan tepat waktu. Tak membawa anak itu kemana-mana lagi, mereka hanya pulang bersama. Pria paruh baya itu hanya ingin mengobrol berdua saja dengan anaknya.

"Cari perhatian gimana, Yah?" Tanya bocah itu bingung.

Danu yang masih fokus pada jalanan, menjawab tanpa menoleh kearah Naka yang berada disampingnya. "Itu semalem ngapain pulang? Jangan banyak tingkah kamu tuh. Kalau Ayah sama Bunda belum ke rumah sakit, ya apa susahnya nunggu. Cuma gak di tengokin seharian aja udah berulah. Kamu udah gede, masa gak bisa ngurus diri sendiri."

Naka menggigit bibir bawahnya, terlalu sakit menerima perkataan sang Ayah. Tak adakah sedikit saja rasa iba untuk dirinya dihati kecil Danu. "Naka mau sekolah, Yah. Ada yang penting. Makanya semalem maksain pulang, udah nungguin Ayah sama Bunda tapi gak dateng."

"Kita lagi makan, semalem Wira ngajak jalan-jalan. Lain kali kamu gak usah nekat. Pake tidur diteras segala, udah tahu lagi sakit!" Memang terdengar seperti sentakan. Tapi, bagi Naka rasanya menghangatkan. Dibalik ucapan tegas itu seperti tersirat sebuah perhatian. Entah Naka yang terlalu berharap atau memang nyatanya seperti itu.

"Naka semalem emang bener-bener cari perhatian, ya? Padahal semalem, Ayah, Bunda, sama Wira lagi seneng-seneng. Eh, tiba-tiba kacau karena Naka. Bunda sama Adekmu sampe berani ngelawan Ayah karena khawatir sama kamu. Padahal, Ayah paling gak suka dibentak atau dibantah." Danu masih tak mengalihkan atensinya dari jalanan, ia berucap santai seperti tengah mengeluarkan semua kekesalannya. Masih tak menghiraukan raut sang Anak yang mati-matian menahan tangis.

Naka menyandarkan tubuhnya dikursi mobil. Menengadahkan kepala, berusaha menghalau air matanya yang siap menerobos membasahi pipi. Pedih rasanya mendengar kebenaran itu. Disaat semalam ia tengah bergelut dengan rasa sakit, keluarganya malah asik bersenang-senang tanpa mempedulikan kondisinya.

Lelaki itu kembali menegakkan tubuh. Sedaritadi, Danu tak melirik sedikitpun kearahnya. Tak mempedulikan apa yang ia lakukan. Naka mengusap netranya yang sedikit berair, ia kembali mengukir senyum tanpa mempermasalahkan hal itu. Baginya, terlalu kekanak-kanakan jika merajuk pada orangtua.

"Maaf, Yah. Demi tuhan, Naka gak ada niatan buat ngerusak kebahagiaan kalian."

Danu hanya diam, tak mengindahkan ucapan Naka. Ada sedikit rasa iba kala anak itu tak pernah membela diri. Bocah itu tak pernah membantah apa yang dikatakannya. Harusnya ia bersyukur dianugerahi tuhan anak sesabar itu. Tapi, entahlah. Terlalu sulit bagi Danu untuk menurunkan sedikit saja egonya.

"Naka boleh tanya sesuatu, Yah?" Anak itu berkata pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan ia katakan.

"Hm?"

"Pengin dapet kasih sayang Ayah gimana caranya?"

Akhirnya Danu melirik sekilas kearah anak itu yang kini tengah menunduk. "Maksud kamu apa? Kamu ngerasa kalau Ayah gak pernah sayang kamu, gitu?"

TANAKA [END]Where stories live. Discover now