End~

17.1K 1.3K 261
                                    

Tepat hari ketiga setelahnya, netra itu masih diizinkan tuhan untuk menyapa dunia. Naka terbangun dari komanya bertepatan dengan kumandang adzan subuh. Hal pertama yang ia lihat adalah sosok sang Bunda yang tertidur disamping ranjangnya, juga Ayahnya dan Wira yang tertidur di sofa.

Siangnya bocah itu terlihat lebih bertenaga, wajahnya memang masih pucat, tapi setidaknya anak itu bisa kembali tertawa seperti biasanya.

"Lo tau nggak, Ka? Si Awiy padahal udah sehat, tapi gak mau sekolah," ucap Aldo sambil kembali memasukkan makanan ringan kedalam mulutnya.

Setelah mendengar kabar tentang Naka yang siuman, sahabat-sahabat Naka memang langsung memutuskan untuk datang. Naka sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa karena kondisinya yang mulai membaik.

"Kenapa, Wiy? Lo mau bego kayak gue?" Tanyanya pada sang Kembaran.

Wira berdecak ketika Aldo mulai mengadu pada sang Kakak. "Ya gak gitu. Gue 'kan mau jagain lo setiap hari," jawab bocah itu.

Naka terkekeh sebelum kembali berucap. "Ngapain ditungguin? Kan gue lagi tidur. Gabut banget lo nungguin orang tidur."

"Ish, lo 'kan koma. Tidur hampir dua minggu lebih, gimana gue bisa tenang."

"Iya deh yang khawatir. Tapi besok gue gak mau tahu lo harus sekolah, oke?" Perintah Naka.

"Kok maksa?"

"Kali-kali nurut dong sama gue."

"Iya terserah." Naka tersenyum penuh kemenangan.

Yang ada diruangan itu kompak tertawa melihat tingkah dua saudara dihadapan mereka.

Naka kembali menarik kedua sudut bibirnya, ada rasa senang dibenaknya, karena saat ini ia kembali merasakan yang namanya kehangatan. Entah kenapa sekarang ia jadi tak rela jika harus meninggalkan orang-orang disekitarnya. Apalagi sang Ayah dan Bunda yang benar-benar sudah berubah 180°. Mereka jadi memanjakannya, dan apa yang Naka inginkan pasti akan dituruti.

Dari mulai ia terbangun tadi pagi, entah sudah berapa banyak kata maaf yang terlontar dari mulut orang-orang disekitarnya, apalagi sang Ayah dan Bunda. Sebenarnya, Naka tak mempermasalahkan kejadian kemarin-kemarin. Toh, semuanya sudah terjadi dan waktu tak mungkin bisa diputar kembali.

"Oh iya, gue gak nyangka banget soal olimpiade fisika itu bakal lo yang menang, Ka," ucap Alby yang sedaritadi duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

Naka membulatkan matanya, ia juga hampir lupa dengan Olimpiade yang pernah ia ikuti beberapa minggu lalu sebelum dirinya koma. "Becanda lo?"

"Serius, Ka. Lo sih tidurnya lama banget, jadi gak denger pengumumannya," sahut Fano.

Naka melirik kearah Wira yang sedaritadi menyimak perbincangan mereka. "Ayah tahu, Wiy?"

"Iya, tahu. Gue juga udah bilang kalau itu hadiah dari lo buat dia. Ayah keliatan nyesel banget, terus waktu lo tidur selama berminggu-minggu ini, setiap harinya dia gak bakal berhenti bilang maaf disamping lo. Gue tahu kesalahan Ayah besar banget sama lo, tapi kalau bisa maafin dia ya, Ka. Gue gak tega aja liatnya," jawab Wira panjang lebar.

Selama ini bocah itu memang selalu memperhatikan sang Ayah secara diam-diam. Awalnya ia marah ketika tahu Ayahnya membiarkan Naka dengan kondisi yang jauh dari kata baik itu mendonorkan darah untuk dirinya.

Tapi, seiring berjalannya waktu. Sosok Ayah yang terkenal dengan kegarangannya itu menjadi lebih pendiam. Tak ada lagi sorot mata tajamnya, yang ada hanya tatapan sendu yang menggambarkan beribu penyesalan. Hal itulah, yang meruntuhkan kerasnya hati seorang Wira.

"Hey, gue gak pernah marah sama Ayah atau semua orang. Disini Gak ada yang perlu minta maaf dan gak ada juga yang harus disalahin. Gak usah dipikirin, anggep aja kesalahan yang kemarin-kemarin itu gak pernah ada," Naka tersenyum, kemudian mengusap pelan lengan Wira yang berada di sisi ranjangnya.

TANAKA [END]Where stories live. Discover now