[19]Salah Faham

12.2K 1.2K 601
                                    

Suasana terasa mencekam bagi bocah berusia 17 tahun itu. Kepalanya tertunduk tak berani menatap sang lawan bicara. Kedua tangannya bertautan dibawah meja. Pria paruh baya dihadapannya menatap tajam kearah pemuda itu.

"Coba sopan santunnya di pake. Kalau ada orang ngomong, matanya jangan keliaran kemana-mana. Tatap lawan bicara!" Tegas pria yang sudah menginjak kepala empat itu.

Takut-takut, remaja itu menatap sorot mata hitam sang Ayah. Perasaannya sudah tak karuan, detak jantungnya seperti bekerja lebih cepat.

"Ayah gak bakal hukum kamu, tenang aja. Ayah cuma mau minta sesuatu. Mau diturutin?"

Walau ragu, bocah itu berusaha mengangguk. "Apapun, demi Ayah." Naka menarik kedua sudut bibirnya.

Masih dengan wajah datar andalannya, Danu kembali berucap, "Ayah pengen kamu kayak Wira. Bisa ikut olimpiade, dan menangin banyak penghargaan. Selama ini 'kan kamu gak pernah ikut yang kayak gituan dan gak pernah ngebanggain Ayah. Coba sekali aja buktiin kalau kamu pantas Ayah anggap Anak. Naka, Ayah maunya anak pintar. Bukan bodoh."

Pedih rasanya mendengar ucapan sarkas Ayahnya. Semua yang di beberkannya memang tak ada kekeliruan sedikitpun. Tapi, hatinya begitu sakit ketika mendengar ucapan spontan sang Ayah.

Naka memaksakan seulas senyum. Ia berusaha menyemangati diri agar bisa melaksanakan perintah Ayahnya.

Sebelum tuhan memanggilku, aku hanya ingin menjadi berharga dimata Ayah

"Kalau itu mau Ayah. Naka bakal usahain."

Danu mengangguk, tanpa ada senyum sedikitpun diwajahnya.  "Bagus. Ayah pegang ucapan kamu." Pria itu menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Sekarang kembali ke kamar. Tidur."

Naka mengangguk, kemudian bocah itu berdiri dari posisi duduknya. Baru saja kaki jenjang itu melangkah, tiba-tiba tubuhnya limbung. Beruntung ia masih bisa berpegangan pada meja yang ada didekatnya.

Sedaritadi tadi, rasa sakit memang sudah mendera kepalanya. Dan sekarang, anak itu meringis. Sedikit memijat bagian rasa sakit.

Danu yang melihat itu menegakkan tubuh, meski tak beranjak dari kursi miliknya. "Kenapa?" Tanya pria itu ketika melihat kondisi anaknya.

Naka menggeleng seraya tersenyum. "Gak papa."

"Ya sudah. Cepat ke kamar!" Perintahnya

Naka mengangguk. setelah mengucapkan salam, bocah itu melangkah gontai.

Danu sedaritadi bukan tak melihat raut pucat juga tubuh lemas anaknya. Hanya saja ia cukup malas untuk peduli.

***

"Ini maksudnya apa, Al?" Fano menunjukkan salah satu room chat yang ada didalam handphone milik Alby.

Alby yang melihat itu membelalakkan mata, bocah itu berusaha merebut ponsel miliknya yang berada digenggaman sahabatnya. Namun, fano sigap menghalang pergerakan Alby untuk mengambil handphone itu.

"Jadi, selama ini lo yang ngadu ke bokapnya Naka?" Aldo menyahut ketika ia sudah melihat isi chat itu.

Raut panik terpatri diwajah bocah itu. Alby berusaha menjawab pertanyaan kedua sahabatnya. "G-gue bisa jelasin," jawab lelaki itu gelagapan.

Fano menggeleng, menatap penuh kecewa kearah sahabatnya. "Gue gak nyangka lo semunafik itu, Al."

Tadi, ketika Fano meminjam handphone milik Alby. Tak sengaja ia melihat percakapan antara Alby dan Danu disalah satu aplikasi chat. "Semuanya udah jelas, Al. Gue gak tahu apa salah Naka sama lo. Sampe lo tega ngelakuin ini." Fano menarik sebelah sudut bibirnya membuat smirk. "Gue nyesel. Kenapa waktu itu gue gak percaya omongan dia. Dan gue bodoh banget sampe gak tahu gerak-gerik lo yang nyembunyiin sesuatu."

TANAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang