[18]Sesal

11.1K 1.2K 425
                                    

"Motor gue gak lo bawa?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Wira ketika Naka memasuki ruangan utama.

Yang ditanya dengan wajah lusuh menoleh kesumber suara. Terlihat Wira yang sedang menonton siaran televisi diruang tengah. "Hah?" Bocah itu mengerutkan dahi bingung.

Wira berdecak, menatap tak suka kearah saudaranya. "Pasti lo gak baca chat dari gue."

Naka menggeleng, kemudian ia cepat-cepat merogoh saku celana, mengambil handphone dan benar saja ada satu pesan masuk dari Wira yang menyuruhnya untuk mengambil motor. "Maaf ya, Wiy. Gue gak sempet buka hp. Tadi ditempat les sibuk banget." Bocah itu mendekat kearah Kembarannya.

Dengan tatapan yang masih mengarah pada Tv, Wira berucap ketus, "Serah lo."

"Ngambek mulu. Makin jelek itu muka. Nanti Aira gak suka tahu rasa."

Wira menatap tajam kearah saudaranya. Tangannya mengepal menahan emosi. "Gue lagi gak mau becanda!" Tegas bocah itu. "Udahlah, biar gue yang ambil." Wira berancang-ancang untuk berdiri. Tapi, Naka sigap menahan pergerakan kembarannya.

"Gak usah nyari penyakit, ini udah malem. Biar gue yang ambil." Wira kembali terduduk ketika Naka mengatakan itu. "Bengkel Om gery yang deket sekolah, 'kan?" Tanya Naka yang kemudian diangguki oleh Wira.

"Ya udah, gue berangkat dulu. Nanti izinin ke Ayah." Naka tersenyum dengan wajah pucatnya.

Wira mengangguk. "Hati-hati. Maaf ngerepotin."

Lelaki itu kembali tersenyum sambil mengacungkan jempolnya, kemudian ia berbalik membawa langkahnya keluar.

Dibawah naungan langit malam tanpa bintang. Bocah bermanik coklat itu berjalan lamban ditrotoar. Semilir angin dan dinginnya malam kian menusuk tubuh ringkihnya. Anak itu mengeratkan jaket hitam yang dikenakannya, sesekali menggosokkan tangan berusaha mencari kehangatan.

Bibirnya semakin memucat, wajahnya hampir kehilangan rona. Tubuhnya semakin payah, tapi lelaki itu berusaha untuk tetap mengayunkan langkah. Hingga tak terasa kini dirinya berada didepan bengkel besar yang masih terlihat cukup ramai meski sudah tengah malam.

Naka berjalan memasuki area bengkel. Tempat ini sudah tak asing lagi bagi bocah itu, beberapa bulan yang lalu ia sempat bekerja disini.

"Naka!" Terlihat lelaki yang lebih tua dari Naka berjalan mengahampirinya.

Naka yang cukup mengenalinya tersenyum, kemudian melambaikan tangan kearah orang itu. "Hai, Om Gery."

Lelaki yang disebut Gery itu tersenyum. "Kemana aja, udah lama kamu gak ikutan nongkrong disini."

"Sibuk, Om. Gak ada waktu buat main. Naka 'kan anak rajin yang ganteng." Bocah itu tersenyum, menunjukkan gingsulnya. "Naka mau ngambil motor Wira, Om. Katanya tadi mogok terus di benerin disini." Lanjut bocah itu.

"Oh, motor Wira. Udah selesai kok, tuh." Pria berusia 30 tahun itu menunjuk motor milik Wira yang tak jauh dari tempat mereka mengobrol.

Naka mengangguk kemudian berucap, "udah dibayar, Om?"

"Udah kok," ucap lelaki itu. Kemudian ia merogoh saku celananya dan menyodorkan kunci motor pada Naka. "Nih kuncinya."

Naka tersenyum kemudian mengangguk. "Makasih, Om."

"Eh, iya. Tuh disana ada Fano sama yang lain. Kamu gak mau nyamperin mereka dulu?" Gery menunjuk ruangan tempat biasa mereka main disini.

Biasanya ia dan teman-temannya memang sering menghabiskan waktu malamnya ditempat ini, sekadar untuk melepas lelah setelah belajar. Namun sekarang, Naka tak pernah ikut berkumpul, karena memang tak ada lagi waktu luang bagi dirinya untuk menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatnya. Kini, hari-harinya ditemani berbagai buku tebal.

TANAKA [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt