[17]Om Reza dan Tante Selvy

11.2K 1.1K 393
                                    


"Terserah lo deh, Ka. Emang lo gak kasihan sama tim basket kita nanti, mau jadi apa tim ini kalau gak ada pemimpin. Bisa aja cari kapten baru. Tapi, anak-anak udah nyaman dipimpin sama lo. Dan sekarang seenaknya bilang mau udahan. Kalau cuma mau main-main jadi kapten basket, mending dari awal tolak aja penyerahan gelar itu."

Fano benar-benar kecewa ketika Naka bersikeras ingin menyudahi pimpinannya di basket. Ia sudah bertanya berulang kali apa penyebabnya, tapi bocah itu tak memberitahu dengan jelas alasannya, yang membuatnya kesal sendiri.

"Gue punya alesan, Fan. Astaga," lirih Naka.

Fano menatap tajam pada sahabatnya, rahangnya mengeras menahan emosi. "Ya apa alesannya. Yang jelas bego, lo kira gue cenayang yang bisa baca pikiran lo!" Intonasinya meninggi, emosinya sudah tak terkendali. Dibelakangnya ada Aldo yang berusaha menenangkan.

Naka menatap nanar bola mata hitam milik Fano. "Bokap gue udah tahu kalau gue masih gabung sama tim basket. Dan kemarin dia marah, nyuruh gue buat ngejauh dari tim ini. Itu alesan pertama."

Fano menyeringai mendengar itu. "Cih, pembual."

"Terserah lo mau percaya atau nggak. Dan buat alesan yang terakhir …," ucap Naka seraya berfikir sejenak sebelum melanjutkan, "… gue takut meninggal sebelum akhir masa jabatan."

"Omongan lo makin ngawur. Belajar lagi ya bikin alesan yang lebih meyakinkan. Alesan lo gak logis." Setelahnya, Fano berlalu keluar meninggalkan ruangan kelas.

Aldo yang sedaritadi berusaha menenangkan Fano mulai bangkit, ketika melihat sahabatnya pergi dari hadapan mereka. Netranya menatap iris coklat Naka. "Gue kecewa sama lo, Ka. Egois. Mentingin diri sendiri." Kemudian lelaki humoris itu melangkah menjauh dari hadapan Naka.

Naka meremat jemarinya kuat-kuat. Berusaha melampiaskan rasa sesak di dadanya ketika mendengar semua penuturan sahabatnya. Egois katanya. Sejak kapan bocah itu lebih mementingkan dirinya. Selama ini kebahagiaan orang lain selalu menjadi prioritasnya.

Semua orang selalu melihat dari satu sisi. Tak pernah melihat sisi yang lainnya. Tak pernah tahu fakta. Tapi, berani mengecap semaunya.

"Sabar ya, Ka," Alby yang sedaritadi hanya diam mengusap punggung Naka dari belakang. Bocah itu masih dikursinya, tak beranjak sedikitpun.

Tanpa melirik kebelakang, lelaki jangkung itu hanya mengangguk. Kemudian menelungkupkan kepalanya diatas meja.

Kenapa semesta seakan membencinya. Sedikit demi sedikit mulai merenggut kebahagiaan miliknya. Tak pantaskah seorang Naka merasakan sedikit saja yang namanya bahagia.

Perkataan Reza beberapa hari yang lalu kembali terngiang.

"Ada kanker di usus besar kamu, Ka. udah stadium 3 akhir atau stadium 3C. Kankernya udah nyebar ke jaringan terdekat disekitar usus besar. Kalau gak cepet-cepet ditanganin, kemungkinan bisa nyampe ke stadium akhir. Dimana kankernya itu udah nyebar ke seluruh tubuh. Kaya ke paru-paru, jantung, atau organ dalam lainnya. Dan kalau gitu bakal lebih sulit lagi buat sembuh."

Setelah mengambil hasil tes darah beberapa hari yang lalu. Naka mendapatkan Fakta bahwa didalam tubuhnya ada sel-sel abnormal yang membelah secara tidak terkendali dan menghancurkan jaringan tubuhnya.

Hari itu juga dirinya dipaksa Reza untuk melakukan CT scan, agar mengetahui tingkat stadium dari kanker usus besar tersebut. Dan akhirnya bocah itu kembali menerima kenyataan pahit bahwa kanker ditubuhnya sudah hampir memasuki stadium akhir.

Naka tahu tentang kanker kolorektal atau kanker usus besar. Ia pernah membaca diinternet bahwa kanker ini masuk kedalam daftar kanker paling mematikan.

Naka takut jika hidupnya tak akan lama lagi. Entah kapan waktunya. Tapi, ia harus siap. Karena, ajal akan datang kapan saja tanpa tahu permisi.

TANAKA [END]Where stories live. Discover now