[21]Tak Ada yang Berubah

10.5K 1.1K 275
                                    

Vote and follow jangan lupa!

Ia fikir setelah Sang Ayah dan Bunda mengetahui rahasia itu, kehidupan kelamnya akan berubah.  Nyatanya, ekspektasinya terlalu tinggi. Tak ada yang berubah sama sekali dari hidupnya.

Sulit bagi Naka menerima kejamnya takdir. Entah kenapa beban hidupnya tak kunjung meringan, rasa sakit itu pun tak kunjung menghilang, rasanya cobaan yang diberikan tuhan bertubi-tubi menghantam kehidupannya.

Naka hanya ingin merasakan kebahagiaan itu berpihak sekali saja pada dirinya.

"Naka, mau Bunda temenin makan dulu?" Elina keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapih.

Lelaki yang masih terbaring di bangsal rumah sakit itu melirik kearah perempuan cantik yang sekarang mendekat kearahnya. "Gak usah, Bunda. Nanti aja." Ia tersenyum menampakkan deretan giginya.

Elina mendudukkan tubuh dikursi samping ranjang anakanya. "Sekarang aja. Ayo cepet, Bunda mau berangkat kerja." Perempuan itu mengambil bubur yang telah disediakan rumah sakit.

Naka mengangguk saja, walau perutnya sekarang tak bisa diajak kompromi. Lelaki itu berusaha bangun dari tidurnya dengan sedikit kesusahan. Elina tak menyadari itu, karena sekarang fokusnya tertuju pada ponsel.

"Mana buburnya, Bunda?" anak itu berujar lembut sembari menengadahkan telapak tangannya.

Wanita itu melirik kearah anaknya, kemudian meletakkan ponsel yang sedaritadi ia genggam. "Biar Bunda suapin, nanti kalau gak ditemenin gak bakal kamu habisin buburnya." Ia mulai menyendokkan bubur, kemudian menyuapkannya pada mulut anak itu.

Susah payah Naka menelan makanannya, berusaha sebiasa mungkin agar Sang Bunda tak curiga. Suapan demi suapan ia terima. Hingga pada suapan keempat ia berkata, "udah dulu ya, Bunda. Nanti lagi." bocah itu berujar lirih disertai dengan cengiran. Sekarang, ia berusaha menahan gejolak diperutnya. Sebisa mungkin tak mengeluarkan isi  lambungnya dihadapan sang Bunda.

Elina menghembuskan nafas, kemudian meletakkan mangkuk itu ketempatnya. "Baru juga makan sedikit, gimana mau sembuh kamu ini." Ia kemudian berdiri, mengambil tas juga handphone diatas nakas.

Naka memaksakan seulas senyum. "Nanti Naka habisin, deh. janji." Ia mengacungkan jari kelingkingnya.

"Ya udah, Bunda kerja dulu. Gak papa 'kan disini sendiri?"

Remaja itu hanya mengangguk, mati-matian ia berusaha menahan sensasi sakit diperutnya.

"Mau kemana, Mbak? Kok udah rapih." Dokter ber-jas putih itu memasuki ruang rawat Naka.

Elina juga Naka sontak menoleh kesumber suara. "Mau kerja," jawab perempuan itu santai.

"Kerja? Terus, Naka ditinggalin sendiri disini?" Reza bertanya bingung.

Wanita berambut sebahu itu hanya mengangguk. "Iya, lagian disini juga ada kamu."

"Ya 'kan aku juga harus nanganin pasien lain, Mbak."

"Ya udah, teleponin Selvy. Suruh jagain Naka sampe aku pulang kerja."

Reza menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mbak Elina sama Mas Danu sama aja ya. Anak kalian kondisinya lagi kayak gini juga, bisa-bisanya masih mikirin kerjaan."

"Kamu fikir biaya rumah sakit murah? Belum lagi biaya buat kemoterapi nanti yang gak sedikit nominalnya. Kalau aku sama Mas Danu nggak kerja, mau bayar pake apa nanti?"

"Ya seenggaknya, sehari aja temenin anaknya sampe bener-bener baik. Lupa kalau semalem dia baru collapse?" Reza mulai tersulut emosi dengan tingkah kakak iparnya. Ia fikir semalam Elina benar-benar menyesal, dan tak akan kembali mengulangi kesalahannya.

TANAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang