[12]Sebuah Kebahagiaan

9.1K 1.1K 293
                                    


"Naka udah ngelarang Wira, yah. Naka udah cegah dia. Tapi Wira gak mau nurut." Naka menceritakan semuanya pada Danu.

Tadi pria paruh baya itu membawa Naka pulang kerumah untuk menjelaskan semuanya. Ia tahu kondisi, tidak mungkin ribut dirumah sakit.

"Jadi, kamu nyalahin Wira?"

Dengan takut-takut Naka mengangguk. "Iya, karena dia emang gak mau nurut waktu malem itu. Ijinin Naka buat ngebela diri kali ini, Yah. Udah cukup, capek banget di cap salah padahal kesalahannya bukan dari aku."

Danu melipat kedua tangannya, satu sudut bibir pria itu terangkat. "Keren, ya. Udah berani nyalahin wira kamu? Ga pernah pantes di sebut kakak yang baik anak ini." Tatapannya tajam, membuat nyali Naka seketika menciut. "Berdiri," lanjutnya memerintah.

Perasaannya tak karuan, tangannya bergetar hebat. Ketakutan mulai mendekapnya. Pelan-pelan Naka berdiri, menundukkan kepalanya, tak berani beradu tatap dengan sang lawan bicara.

Tanpa rasa kasihan, pukulan kuat dari tangan kanan pria paruh baya itu meluncur hebat tepat mengenai perut anaknya. Naka tersungkur. Berpegangan pada apa saja yang bisa ia gapai.  "Sebenarnya Ayah belum puas ngasih hukuman buat ke tololan kamu tadi. Denger ini, jangan pernah nyalahin Wira, anak kesayangan saya. Ayah paling gak suka itu, Naka!"

"Udah cukup, pergi ke kamar. ngeliat kamu udah payah banget kaya gini, gak mungkin buat dapet bogeman lagi. Nanti kalo kenapa-kenapa kesannya Ayah jahat banget," lanjut sang Ayah.

Dengan masih memegangi perutnya, Naka menggeleng sembari tersenyum. "Pertama, Naka minta maaf soal tadi. Gak lagi-lagi nyalahin Wira dalam keadaan apapun. Kedua, Naka gak papa. Kalau Ayah masih capek dan butuh pelampiasan, disini ada Naka. Terserah Ayah mau ngelakuin apapun sama tubuh Naka. Yang penting jangan nyakitin orang lain apalagi diri Ayah sendiri," bocah itu berkata lirih.

Danu tersentak mendengar jawaban yang tak terduga dari mulut anaknya. Ia baru sadar ternyata Naka sedewasa ini. Anak itu selalu mementingkan orang lain tanpa peduli dengan dirinya sendiri.

"Naka pengen Ayah sehat terus. Demi apapun Naka bener-bener sayang Ayah." Suara itu melemah. Pandangannya mulai memburam. Hingga tubuh itu limbung seketika.

***

"Bunda, telepon Naka dong. Dia kok gak kesini udah malem juga." Wira yang sedang disuapi potongan apel oleh sang Bunda bertanya.

Ini sudah kesekian kalinya Wira mengucapkan pertanyaan itu. Membuat Elina bosan. "Kan Abangnya disuruh pulang sama Ayah. Kasian capek disini terus. Lagian besok dia sekolah."

Wira mengangguk saja mencoba memahami. "Bun, jangan salahin Naka soal sakitnya Wira. Ini salah Wira yang gak mau nurut. Padahal Naka udah ngelarang Wira keluar malem."

"Iya udah, sekarang Wira tidur aja ya udah malem. Liat tuh Ayah aja udah ngorok." Elina menunjuk kearah Danu yang tertidur di sofa ruangan itu. Sepulang dari rumah tadi, Danu tak mengatakan apapun. Ia malah langsung tertidur. mungkin capek, fikir Elina.

Wira mengangguk. "Wira tidur duluan. Bunda juga tidur ya. Pasti capek banget." Bocah itu kemudian mulai menutup mata.

Entah kenapa Elina merasa kecewa pada Naka saat anak itu mengabari bahwa Wira sakit. Ia merasa bahwa Naka tidak bisa menjaga Wira. Entah iblis apa yang berada ditubuh Elina saat ini. Hingga ia bisa berfikiran seperti itu pada anaknya sendiri dan berakhir mendiamkan Naka seperti saat ini.

Elina sebenarnya tidak tega melakukan ini. Apalagi tadi saat ia melihat anak itu datang dengan wajah pucat dan seperti menahan sakit. Tapi, bocah itu dengan wajah gembira menyapanya. Dan bodohnya ia malah berusaha tak menghiraukan sapaan itu. Pada saat itu pula terlihat gurat kecewa di wajah putra sulungnya. Pasti saat itu Naka sedang butuh perlindungannya. Sekarang Elina benar-benar menyesal melakukan itu.

TANAKA [END]Where stories live. Discover now