[3]Karunasankara Narendra Tanwira

11.6K 959 30
                                    

Mudah sekali jika kalian ingin membedakan Naka dan Wira. Karena perbedaannya cukup kentara. Memiliki paras tak serupa itu adalah ciri mereka. Kembar non-identik biasa orang menyebutnya.

Naka dengan perawakan kurus dan tegap, juga iris hitam yang indah dan jangan lupakan gingsul yang menambah keindahan senyumnya.

Wira, laki-laki bertubuh atletis. Yang memiliki mata lebih minimalis dibanding Naka, dengan bola mata kecoklatan. Juga bibir tipisnya yang menjadi pujaan para kaum hawa.

"WOY, SIPIT!" Bocah jangkung itu membuka pintu tanpa permisi. Menyebabkan Sang pemilik kamar mendelik sebal.

"Aturan kalau mau masuk kamar orang tuh ketuk pintu dulu. Percuma lo sekolah hampir dua belas tahun kalo ajaran sopan santun aja gak pernah dipake." Wira itu mulutnya udah kayak boncabe level 30. Pedesnya gak nahan.

"Ya maaf, sinis banget sih lu." Bocah yang sedari tadi memeluk paperbag hitam itu mendudukkan tubuhnya di pembaringan milik sang adik.

Wira memutar bola matanya malas. Ia mengembalikkan fokusnya pada laptop milik sang kakak yang sementara waktu menjadi miliknya.

"Wiy."

Yang dipanggil hanya bergumam, tanpa menoleh kearah lawan bicaranya.

"Sini dulu deh."

"Apaan sih. Kalo mau ngomong, ngomong aja. Gak usah ribet!" Pemuda itu menjawab sinis, tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun dari layar laptop.

"Dih, orang gue cuma mau ngasih ini. Kalau gak mau ya udah gue bawa balik lagi." Naka meletakkan paperbag itu di atas ranjang.

Bocah itu memutar tubuhnya menghadap sang kakak. Ia baru sadar, kalau sedari tadi Naka memegang sesuatu. "Apaan tuh?"

"Sini makanya." Naka menepuk-nepuk tempat disebelahnya, mengisyarakatkan sang adik untuk duduk.

Lelaki yang mengenakan kaos oblong hitam itu menghampiri yang lebih tua. "Apaan sih ini?" Tanyanya.

"Yang kemaren gue banting." Dengan wajah santainya Naka mengatakan itu.

"LAPTOP?" Teriak Wira tak percaya.

"Berisik! Norak banget sih lo."

Tanpa persetujuan yang lebih tua, lelaki bermata sipit itu langsung membuka paperbag yang dibawa Naka. "Eh ini laptop beneran kan anjir?" Tanya Wira setelah iya melihat isinya.

"Lo kira laptop mainan segede gitu?" Naka mendelik sebal.

"Tapi lo dapet uang dari mana? Lo gak nyolong, 'kan? Gue gak mau ya make laptop haram." Tanya Wira dengan tatapan mengintimidasi.

"Suujon bae lo. Mentang-mentang bapak gue bukan ustad."

"Yaiyalah bambank, bapak kita kan sama"

"Oh iya lupa."

"Gelo sia."

Naka hanya tertawa menanggapi celotehan Wira. "Gue kan udah bilang, duit gue banyak. Gak percaya sih lo."

"Serah."

"Gue gak denger apa-apa lho, Wiy?"

"Iya iya Makasih."

"Sama-sama. Cium dulu dong." Naka menunjuk pipinya.

"NAJIS HOMO, MATI AJA LO."

Bocah jangkung itu tertawa terbahak bahak. Senang sekali bisa mengusili sang adik. Kapan lagi 'kan bisa ngerjain Wira yang dingin.

***

Meja makan itu sekarang terisi empat orang manusia yang berbeda usia. Mereka tengah asik menyantap sarapannya.

TANAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang