[22] Pengakuan

9.4K 1.1K 526
                                    

Vote and follow jangan lupa!

Langkah tertatih itu memasuki tempat bernuansa hitam putih, didepan tempat itu terpampang baligo besar bertuliskan Coffe shop. Bola mata cokelat itu berpendar, menilik satu demi satu orang yang ada didalam sana. Hingga pada akhirnya, manik itu menangkap sosok yang tak asing lagi di penglihatannya. Orang itu duduk dipojok ruangan dengan secangkir kopi dimejanya, ditambah lagi dengan ponsel pintar yang mungkin sedaritadi menemaninya.

Naka mempercepat langkah mendekat kearah orang itu, meski memerlukan tenaga ekstra untuk berjalan. Sedaritadi, senyum indah itu terpampang jelas diwajah tampannya. Ia begitu senang karena akan kembali berbincang dengan sahabatnya.

"Al!" Bocah itu melambaikan sebelah tangan, sedangkan tangan yang satunya ia gunakan untuk memegangi perut.

Yang disapa menoleh kesumber suara, kemudian tersenyum singkat. Tanpa persetujuan Alby, Naka mendudukkan bokongnya. Sedikit mengatur nafas yang tersengal, kemudian berucap, "mau  ngomong apa, Al?" Anak itu bertanya tanpa basa-basi. Bukan tak menghargai sahabatnya, hanya saja waktu yang diberikan oleh Om nya untuk bertemu Alby cukup singkat, jadi ia harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Alby menggigit bibir, masih tak berani untuk berucap. Padahal, Naka tak sedikitpun menunjukkan raut kesal atau marah. Bocah itu malah tersenyum sembari menunggu jawaban Alby.

"Gue minta maaf." Alby menunduk kecewa.

Naka menatap sahabatnya dengan tatapan bingung. "Bukannya lebaran udah lewat ya?"

"Ka, gue yang ngadu ke bokap lo kalau lo masih main basket waktu itu." Alby mengatakan yang sejujurnya, tanpa mempedulikan ocehan Naka tadi. "Jujur, Ini bukan kemauan gue, Ka." Alby meremat jemarinya berusaha untuk mengatakan yang sejujurnya.

"Lo tahu 'kan kalau selama ini Papa gue kerja diperusahaan bokap lo? Om Danu tahu kalau gue itu anak dari salah satu karyawannya. Dan dia juga tahu kalau gue temen deket lo." Lelaki itu melirik kearah Naka yang sekarang hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi. Nyali Alby semakin ciut kala melihat itu. Tapi, ia harus tetap mengatakan kebenarannya.

"Setelah itu, gue sama Om Danu ketemu. Dia minta gue buat selidikin kegiatan lo. Awalnya gue nolak, ka. Tapi, bokap lo ngancem bakal pecat Papa gue kalau gue gak mau nurutin perintah dia." Alby mengatur nafas sebelum kemudian kembali berucap, "mau gimana lagi, akhirnya gue nurut aja. Gue gak bakal rela ngeliat Papa gue kehilangan kerjaannya, Ka. Terserah kalau sekarang lo mau marah, lo juga boleh kalau mau ngejauh dari gue kayak Fano sama Aldo. Gue pantes kok nerima ini, gue emang pantes gak punya temen, Ka." Cairan bening itu kini menghiasi pelupuk mata Alby. Ia berusaha menahan laju air netranya.

Naka yang sedaritadi hanya diam dengan tatapan kosong karena masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Alby, kini menoleh kearah sahabatnya yang tak kunjung mengangkat wajah. Ia melihat bahu itu sedikit bergetar, Naka yakin pasti sekarang Alby sedang menangis. "Gak papa, Al. Gak usah dipikirin lagi ya. Ini juga bukan salah lo, gue bakal tetep jadi sahabat lo tenang aja."

Tangan itu terulur mengusap pundak sahabatnya, senyum indah itu kini kembali terbit. Alby yang sekarang menatap kearah Naka dengan berlinang air mata benar-benar terkejut. Ia fikir, respon Naka akan sama dengan kedua sahabatnya beberapa waktu yang lalu. Nyatanya tidak, Naka memang berbeda dari yang lain, Alby melihat tak ada raut marah diwajah anak itu. Entah sebesar apa sabarnya, sampai mengetahui hal seperti ini pun bocah itu masih bisa tersenyum.

"Lo gak marah?"

"Nggak, Ngapain marah. Lagian ini gak sepenuhnya salah lo." Naka menarik kedua sudut bibirnya.

"Gue kira lo bakal marah kayak Fano sama Aldo. Gue belum sempet jelasin sama mereka, karena mereka keburu marah."

"Nggak lah, Al. Soal Fano sama Aldo, nanti gue jelasin sama mereka. Biar kita gak diem-dieman lagi."

TANAKA [END]Where stories live. Discover now