[26]Semoga bukan yang terakhir.

13.2K 1.1K 392
                                    

Jika dihitung sudah hampir dua minggu ini Naka mempersiapkan diri untuk menghadapi olimpiade. Dan esok adalah hari menegangkannya. Tetapi, lelaki itu berusaha setenang mungkin.

Selama beberapa hari ini waktu-waktunya ia habiskan bersama buku-buku tebal yang isinya adalah rentetan rumus-rumus fisika yang membingungkan. Pusing memang, tapi Naka berusaha keras untuk mencerna semua materi itu. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan berharga ini.

"Masih belajar?" Elina membawa tubuh kurusnya memasuki kamar sang Anak. Langkahnya mendekat kearah ranjang dimana Naka tengah membaca buku dengan posisi telungkup disana.

Remaja laki-laki itu menoleh kemudian tersenyum kearah sang Bunda. "Iya, Bun." Setelahnya Naka kembali memfokuskan pandangannya pada buku.

"Belajar aja sampe lupa waktu ya kamu. Makan, mandi, tidur juga harus diingetin. Belajar sih belajar tapi jangan berlebihan kayak gitu lah. Kalau udah capek ya istirahat dulu, takutnya ngaruh ke kesehatan kamu. Beberapa minggu ini kok gencar banget belajarnya, mau ada ulangan apa gimana?"

"Nggak ada ulangan kok. Ya, Naka pengen belajar aja biar makin pinter," ucap anak itu diakhiri dengan cengiran.

Elina hanya menganggukkan kepalanya. "Jaga kesehatan, inget 'kan dua hari lagi kamu bakalan kemo? Jadi harus siapin fisiknya."

"Iya, Bunda."

"Ya udah sekarang siap-siap gih. Ayah ngajak makan malem diluar."

Naka mengerutkan dahi mendengar itu. Kemudian ia menegakkan tubuhnya dan menatap kearah Elina. "Lho Naka diajak?"

"Diajak lah."

"Bunda bohong, ya?" Bocah itu menatap sang Bunda dengan tatapan mengintimidasi.

"Lho, bohong apa?"

"Bohong kalau Naka juga diajakin Ayah buat makan malem bareng kalian."

"Astaga ngapain Bunda bohong."

"Ayah yang nyuruh ngajak aku atau Bunda yang maksa ke Ayah buat ngajak aku?"

"Ayah yang nyuruh, dia bilang ajak kamu sekalian."

Naka diam. Masih bingung dengan alasan sang Ayah yang juga mengajaknya untuk kumpul bersama. Biasanya untuk hal seperti ini Naka tak pernah dilibatkan. Dulu, mereka akan pergi bertiga kemana saja tanpa sepengetahuan Naka.

"Ayok siap-siap. Ikut, 'kan?" Tanya Elina setelahnya.

Naka mengangguk. "Ikut dong, kalau Ayah yang ngajak gak bakal nolak."

"Ya udah jangan lupa pakai jaket, diluar dingin." Elina mengusak surai anak itu.

***

Cafe yang didalamnya bernuansa monokrom ditambah deretan lampu berwarna jingga yang tergantung pada atap itu menambah keindahan tempat ini.

Disudut ruangan, ada satu meja yang berisikan sebuah keluarga yang tengah memilih beberapa menu makanan pada kertas menu.

"Jangan pilih makanan pedes. Yang sehat-sehat aja, Ka," ucap sang Bunda.

Yang diberi saran hanya mengangguk. Ia asik membolak-balik buku menu, karena masih pusing menentukan pilihan. "Pilihin aja deh, Bun. Naka bingung." Lelaki itu menyodorkan buku menu kearah sang Bunda.

"Lho kok bunda. Nanti kalau Bunda yang pilihin gak kamu makan."

"Makan kok."

Akhirnya Elina bangkit untuk memesan makanan. Dan sekarang, dimeja itu hanya ada Naka dan sang Ayah yang saling berhadapan. Wira tadi pergi kekamar mandi, dan sekarang masih belum kembali.

TANAKA [END]Where stories live. Discover now