[15] Sakit, Yah ...

12.5K 1.1K 417
                                    

Denting jam menunjukkan pukul empat sore. Bocah-bocah yang sudah bermandi peluh itu mulai berhambur dari lapangan. Ada yang masih mengistirahatkan tubuh dipinggir lapangan, dan ada pula yang berlalu meninggalkan pekarangan sekolah.

"Balik yuk, gue harus Les nih." Naka bangkit setelah mengistirahatkan tubuhnya beberapa menit.

"Ayok lah, gerah banget gue pengen mandi," sahut Aldo sambil mengipas-ngipas kan tangannya.

"Besok jangan lupa latihan lagi," ucap Fano.

"Siap bosque," Naka menyahut. Sebelum melangkahkan kaki untuk pulang, netranya menangkap Alby yang sedaritadi hanya diam sambil meremas handphone digenggamannya. "Al, dari tadi diem aja. Kenapa?"

Alby terkesiap saat mendengar pertanyaan itu. Ia cepat-cepat menggeleng. "Nggak. Gak papa."

"Yaudah ayok." Naka berjalan lebih dulu kemudian diikuti oleh Fano dan Aldo.

Alby yang melihat kepergian Naka menatap nanar kearah pemuda itu. "Maaf ...," lirihnya. Kemudian ia menyusul ketiga sahabatnya ke parkiran untuk mengambil motor.

"Gue duluan ya," Naka berucap dibalik helm fulface. Kemudian diangguki oleh ketiga sahabatnya.

Bocah itu melajukan tunggangannya cukup cepat, berusaha mengejar waktu yang semakin menipis. Tak terasa, beberapa menit berpacu dengan jalanan. Kini, motornya sudah terpakir rapih di pekarangan rumah.

Tubuhnya ia bawa memasuki ruangan utama. Baru saja beberapa langkah setelah membuka pintu, terdengar derap orang menuruni tangga. Hingga suara bariton itu menggema, dan spontan membuat langkahnya terhenti. "Darimana?"

Naka terperanjat kala suara orang yang paling ia hormati dirumah ini memasuki indra pendengarannya. Dengan perasaan gamang ia memberanikan diri untuk menatap sosok itu. "A-ayah."

Langkah tegas itu semakin mendekat. Sorot mata tajam terpatri diwajahnya. Naka tahu, pasti tidak akan ada yang baik-baik saja setelah ini. "Ayah tahu waktu pulang sekolah kamu Naka. Bukan jam segini!" Tangan pria paruh baya itu terlipat di depan dada "Darimana?!" Intonasinya semakin meninggi. Membuat suasana diruangan itu semakin mencekam.

Yang ditatap menunduk takut. "Main sebentar, Yah ...," ucapnya lirih.

Pria yang masih terlihat gagah meski sudah menginjak kepala empat itu menyeringai. "Main basket, iya?"

Naka membulatkan mata mendengar itu. Darimana Ayahnya tahu? Selama ini ia selalu menutupi segalanya tentang basket. Apakah Sang Ayah mengikutinya seharian ini? Tapi, itu tidak mungkin, terlalu membuang-buang waktu jika melakukannya. Lalu dari siapa?

"Kenapa diam? Jangan fikir Ayah gak bakal tahu tentang kamu yang masih bergabung dengan tim bodoh itu." Danu lebih mendekat kearah putranya. "Kalau ditanya itu dijawab! Saya gak punya anak bisu!" Dengan santainya pria itu menoyor kepala Naka.

"Maaf, Yah." Hanya kata itu yang kembali terucap. Sungguh, Naka benar-benar takut dengan apa yang akan terjadi setelah ini.

Tak segan-segan Danu mencengkram rambut anak itu, kemudian menyeretnya. "Ayah sengaja pulang cepet buat hukum kamu." Naka hanya meringis ketika cengkraman itu semakin menguat.

Danu mendorong tubuh lemah Naka kekamar bocah itu. Naka yang merasakan punggungnya membentur dinding mengaduh. Tapi, tetap saja tidak diindahkan oleh sang Ayah. "Orang keras kepala kaya kamu gak bakal nurut kalau dinasehatin. 15 cambuk mau? Supaya kamu jera!" Pria dengan wajah yang sudah memerah itu membuka ikat pinggang yang ia kenakan.

"Yah, jangan ...." Bocah itu memohon, berharap Ayahnya akan mempunyai rasa iba.

Sayangnya, Danu tak semudah itu untuk diluluhkan. Ia malah semakin mencengkram ikat pinggang yang ada ditangannya. "Buka baju kamu!"

Naka yang terduduk semakin mundur, mencoba menjauh dari sang Ayah. "Yah, Naka mohon jangan ...," lirihnya.

Melihat Naka yang semakin mundur, ia mendekat kearah Anaknya. "Diam disitu! Kamu mau jadi Anak durhaka karena tidak menuruti perintah saya!" Ucapnya tajam. Naka cepat-cepat menggeleng. "Bagus, sekarang buka!" Perintahnya.

Takut-takut Naka mulai membuka seragamnya, kemudian punggung putih itu terekspos. Ia berdiri lalu memutar tubuhnya membelakangi sang Ayah. Mempersilahkannya untuk menciptakan luka disana.

Danu mulai mengayunkan ikat pinggang itu pada tubuh anaknya. "Satu ... dua ... tiga ...." Pria paruh baya itu menghitung setiap cambuk demi cambuk yang ia berikan. Naka tersentak kala cambukan itu menghantam tubuhnya.

"Empat ... Lima ... Enam ...."

Bocah itu menggigit bibir bawahnya ketika punggungnya mulai kebas dan perih. Ya Allah.

Danu semakin memperkuat cambukannnya. "Tujuh ... Delapan ... Sembilan ... sepuluh ...."

Naka meluruh ke lantai, ia terduduk. Tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Wajahnya kian memucat, tubuhnya melemas, pandangannya memburam. Tapi, ia berusaha untuk tetap mempertahankan kesadarannya.

Bak kesetanan, Danu tak mempedulikan keadaan anaknya yang sudah payah. Lelaki itu kembali mengayunkan ikat pinggang digenggamannya. "Sebelas ...." Danu mengatur nafasnya yang memburu. "Mau membantah saya lagi Kamu?!"

Naka menggeleng. Wajahnya sudah memerah menahan sakit. Ingin rasanya Naka menangis, tapi, sedaritadi ia berusaha menahan air mata yang ingin keluar dari pelupuk matanya. Bagaimanapun ia tidak boleh lemah.

"Duabelas ... tigabelas ...." Nafas Danu sudah tak karuan. Emosinya benar-benar berada dipuncak sekarang.

Bocah itu terbaring, ketika tubuhnya sudah benar-benar kebas. "Sakit ... Y-yah ...," lirih sekali hampir tak terdengar.

"Diam! Atau mau saya tambah cambukannya?!" Naka menggeleng lemah kala mendengar itu.

Saat danu akan kembali menggoreskan luka, pergerakannya terhenti ketika suara perempuan itu menengahi, "Mas, Astaga! Sadar Mas, dia Anak kamu!" Elina menarik kemeja Danu, berharap Sang suami akan mengehentikan aksinya. Ia juga tidak tega ketika melihat anaknya benar-benar kesakitan.

Perempuan itu tadi mendengar keributan dikamar anaknya. Merasa ada yang tidak beres, ia kemudian menghampiri, dan didapatinya Naka yang tergeletak dilantai dengan Danu yang akan melayangkan ikat pinggangnya pada tubuh anak itu.

Danu menatap tajam kearah anaknya yang sudah terbaring lemah. Ada rasa iba dihatinya kala melihat itu. Tapi, sayangnya amarahnya lebih dominan. "Terakhir, Empatbelas ... LIMABELAS!" Pria paruh baya itu melempar sembarang ikat pinggangnya. Kemudian ia pergi meninggalkan ruangan itu.

Air netra yang sedaritadi ia tahan. Kini, meluruh membasahi pipinya. Naka merasa tubuhnya benar-benar tak berdaya, sulit sekali hanya untuk digerakkan sedikit saja. Rasanya sakit.

Elina mendekat ketika anaknya tak kunjung bangkit. Satu sisi wajah Naka menempel pada dinginnya ubin. Ia bisa melihat wajah anak itu yang memucat, bocah itu tak henti-hentinya menggigit bibir. Wanita itu juga melihat ada tetes air mata yang sedikit membasahi pipi bocah itu. "Naka, bisa bangun?" Elina berjongkok didekat tubuh anaknya.

Naka berusaha tersenyum saat melihat Elina. "Naka gak mau lemah Bunda. Tapi, Badan Naka bener-bener gak bisa digerakin. Sakit." Bocah itu terkekeh.

Elina tersenyum kemudian mengusak surai anak itu. "Mau Bunda bantu?"

Laki-laki itu menggeleng. "Gak mau nyusahin Bunda." Senyum hangat itu kembali tercipta. "Malam ini, gak papa deh Naka tidur dilantai aja. Rasanya Mager banget buat pindah ke ranjang, hehe."

Elina tersenyum. "Naka jangan Nakal terus dong. Gini 'kan jadinya dihukum Ayah. Susah banget kayanya nurut sama orangtua. Liat tuh Wira, dia itu nurut, pinter, selalu ngebanggain. Makannya gak pernah dihukum Ayah. Coba dicontoh."

Apalagi ini? Kenapa luka fisik dan batin harus datang bersamaan. Luka yang baru digoreskan oleh sang Ayah saja belum mengering. Dan sekarang Bundanya menciptakan luka baru ditempat yang berbeda.

"Maaf Bunda," ucapnya lemah.

Elina mengelus lengan anak itu, "gapapa, perbaikin diri aja. Jangan diulangin kesalahannya. Maafin Ayahnya, ya. Jangan dendam juga sama dia, Ayah cuma mau yang terbaik buat Naka."

Naka mengangguk lemah, menatap sendu wajah cantik sang Bunda. Tak berani mengeluarkan suara lagi dari mulutnya, sudah cukup lelah dengan malam jahat ini. Ia pasrah.

~tbc
Instagram: @notninaau

TANAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang