[28]Penyesalan yang Sebenarnya

19.2K 1.4K 553
                                    

Follow dulu yuk, bagi yang belum follow

Kabel, suara menderu dari alat, dan bunyi monitor adalah pemandangan pertama yang dijumpai diruangan ini. Wira mengayunkan langkah tertatih dengan bantuan tongkat dikedua tangannya. Ia menarik satu kursi yang berada didekat pembaringan.

Sudah hampir dua minggu. Namun, kelopak mata indah itu masih enggan untuk terbuka. Tubuh ringkih itu terbaring lemah di brankar rumah sakit. Ia terlihat begitu tenang dalam tidur panjangnya.

Setiap harinya akan ada satu atau dua orang yang menjaga bocah itu didalam ruangan. Sesekali mengajaknya berbincang meski tak ada respon sama sekali.

"Bangun, Ka …," Wira berbisik lirih disamping telinga Naka. "Lima hari lagi kita ulang tahun, apa gak mau rayain bareng-bareng?" Lanjut bocah itu.

Wira menidurkan kepalanya disamping tubuh Naka. Menangis dalam diam sembari mengelus punggung tangan anak itu yang terbebas dari infus. "Ulang tahun nanti lo harus ikut ke taman hiburan. Kita rayain ulang tahun kita bareng-bareng. Sekarang Ayah gak bakal ngelarang, gue yakin Ayah pasti ngizinin lo buat ikut, Ka."

Dulu, ketika usia mereka menginjak 8 tahun. Sang Ayah akan selalu mengajak pergi ke taman hiburan ketika bocah kembar itu berulang tahun. Dan kegiatan itu masih berlangsung walau mereka sudah menginjak dewasa. Ah, ralat. Bukan mereka, melainkan hanya Wira dan tanpa Naka.

Dari dulu Danu memang tak pernah mengajak Naka dalam hal ini. Alasannya selalu sama, ia tak suka orang bodoh. Bahkan kata-kata itu sering diucapkannya langsung dihadapan Wajah anak sulungnya.

Dari kecil Naka memang lebih sulit menangkap materi pelajaran dibanding adiknya. Namun, Danu selalu menegaskan bahwa si sulungnya juga harus bisa menjadi seperti Wira, bagaimanapun caranya. Sulit memang, tapi Naka berusaha keras untuk mewujudkan itu. Meski terkadang usahanya hanya dilirik sekilas oleh sang Ayah.

Awalnya, Naka kecil sempat protes kala dirinya tak diperbolehkan untuk ikut merayakan hari jadinya. Ia sempat merengek ingin ikut, memohon-mohon agar diperbolehkan oleh Ayahnya. Namun, bukannya luluh, sang Ayah malah memberikan luka fisik juga batin pada anak itu. Bocah polos itu dipukul, diperlakukan kasar, bahkan dicaci maki. Dan pada akhirnya, Naka hanya pasrah dan tak pernah lagi memaksa untuk ikut.

Wira sempat beberapa kali bertanya kepada kakaknya 'kenapa kamu selalu dilarang Ayah ikut ke taman hiburan buat rayain ulang tahun, Ka? Padahal aku pengen banget main bareng.' Dan jawaban Naka selalu sama.

"Naka mau belajar dulu. Nanti kalau Naka udah pinter kayak Wira dan juga bisa banggain Ayah. Kita pergi ke taman hiburan bareng-bareng ya. Gak tahu deh ulang tahun yang keberapa," ucap polos bocah kecil itu.

Wira meremat kuat seprai pembaringan milik saudaranya. Dadanya sesak ketika mengingat kembali memori masa kecilnya dengan sang Kembaran. Dari dulu hingga sekarang Naka selalu mengorbankan segala miliknya untuk Wira. Dan dengan kurang ajarnya ia selalu semena-mena pada saudaranya itu.

"Gue minta maaf …, makasih buat semuanya, Ka. Ayo bangun, kita mulai semuanya dari awal. Setelah ini gak bakal ada lagi Wira yang egois dan Naka yang selalu ngalah. Semoga gue belum terlambat, ya." Wira berucap penuh sesal.

***

"Lama banget tidurnya, capek ya?" Wanita paruh baya itu menyeka lembut surai anaknya yang kini tengah menutup mata. "Kalau capek gak papa tidur aja, tapi Naka harus tetep bangun. Disini banyak yang nunggu." Elina mengusap kasar air matanya yang sedaritadi tak mau berhenti.

Berminggu-minggu ini ia tak lagi bisa mengontrol laju air matanya ketika sudah melihat tubuh lemah anak sulungnya yang terlihat tak berdaya. "Maafin Bunda …." Kata itu sudah terucap berkali-kali dari mulut Elina. "Harusnya Bunda gak ngorbanin Naka untuk yang kesekian kalinya. Bunda nyesel …," lirihnya diiringi dengan isakan.

Waktu itu hari pertama Naka kemo. Elina masih ingat raut anaknya yang begitu bersemangat. Lelaki itu sudah berkeyakinan bahwa ia akan berjuang untuk sembuh, dan Elina amat mendukung itu.

"Naka belum bisa bahagiain Ayah sama Bunda. Makanya Naka semangat banget buat kemoterapi pertama ini, Bun. Naka mau sembuh, mau bahagiain Ayah sama Bunda dulu," ucap Naka saat itu.

Namun, sepertinya tuhan sedang membolak-balikkan takdir keluarganya. Jauh dari perkiraan Elina jika semuanya akan berakhir seperti ini. Bukannya sembuh, tapi, sekarang Naka malah tengah berjuang melawan maut.

"Bangun sayang, kita berobat ya. Naka mau sembuh, 'kan? Ayah sama Bunda bakal dampingin Naka buat berobat. Naka harus bangun, kita kumpul dan bahagia bareng-bareng ya," ucap lembut Elina.

Danu sedaritadi juga berada disamping ranjang anaknya. Mengelus lembut pucuk kepala bocah itu, menyalurkan rasa sayangnya. Penyesalan yang cukup besar menggerayami perasaan pria paruh baya itu. Rasa takut kehilangan pun cukup kentara dibenaknya.

"Ini hukuman buat Ayah, ya? Ayah yang udah buat kamu kayak gini. Dan Naka tahu? Sekarang Ayah jadi orang paling nyesel buat kejadian ini," ucap Danu penuh sesal.

Ia tahu keegoisannya selama ini membawa dampak buruk untuk anaknya. Sekarang ia sadar, setelah perlakuannya selama ini pada anak itu, dirinya tak pantas lagi disebut dengan julukan Ayah. Seorang Ayah yang seharusnya memberikan perlindungan untuk anaknya, nyatanya malah orang yang paling banyak menorehkan luka.

"Buka matanya, harus sembuh. Setelah itu kita pulang kerumah, rayain ulang tahun Naka sama Wira bareng-bareng.  Sekarang kamu gak perlu ngerengek lagi buat ikut ketaman hiburan. karena Ayah yang minta kamu buat ikut. Anak baik kayak kamu gak pantes hilang dari dunia ini, harusnya Ayah yang brengsek ini aja yang hilang."

Tapi nyatanya, dunia fana ini terlalu kejam untuk orang berhati malaikat seperti Naka.

"Sekarang Ayah sayang Naka apa adanya. Kalau Naka bangun, Ayah gak bakal lagi nuntut Naka supaya jadi kayak Wira, cukup jadi diri Naka, dan Ayah bakal bersyukur buat itu," ujar Danu.

Sahabat-sahabat Naka juga sulit untuk percaya jika bocah yang terkenal dengan sifat ceria dan selalu tersenyum itu ternyata menyimpan fakta yang benar-benar menyakitkan. Entah Naka yang terlalu hebat menutupi luka atau mereka yang terlalu acuh pada anak itu.

Setelah mendengar semua penjelasan dari orangtua Naka tentang anak itu yang selama ini memiliki penyakit mematikan namun hampir tak memberitahu siapapun. Mereka menyesal, merutuki kebodohan masing-masing karena dulu pernah memusuhi anak itu tanpa alasan pasti.

Pikiran mereka sekarang sama, ingin rasanya memutar kembali waktu, merubah sikap agar tak berakhir dengan penyesalan seperti ini. Namun, sekarang semuanya telah terjadi. Penyesalan pun tak lagi berarti untuk saat ini.

Sebanyak apapun maaf juga sesal, tetap saja tak akan merubah keadaan. Kini, semuanya telah terjadi. Untuk saat ini biarkan Naka beristirahat terlebih dahulu. Karena nyatanya dunia mimpi lebih bisa memberikan ketenangan dibandingkan dunia nyata.

Mungkin sekarang anak itu tengah berada dititik lemahnya, dan rasa putus asa itupun sepertinya mulai hadir. Dan dengan tidur, bocah itu tak perlu lagi menghadapi hal-hal yang tak sanggup ia hadapi.

~tbc
Instagram: @notninaau

TANAKA [END]Where stories live. Discover now