[14]Beribu Maaf

9.5K 1K 473
                                    

"Naka …" Baru saja bocah itu merebahkan tubuh lelahnya. Netranya yang akan terpejam kembali terbuka kala suara  lembut itu menusuk indra pendengaran.

Naka melirik kesumber suara. Pintu kayu ber-cat putih itu perlahan terbuka. Lelaki kurus itu beringsut bangun. Tak lama terlihat tubuh sang Bunda yang mendekat kearahnya. Naka tersenyum hangat. "Bunda, kenapa?"

Elina mendudukkan tubuh di samping anaknya. "Naka jahatin Wira?" Perempuan itu bertanya tanpa ekspresi.

Naka yang mendapat pertanyaan seperti itu jelas saja bingung. Dahinya berkerut mencoba memahami maksud perkataan sang Bunda. "Maksud Bunda?" Bukannya menjawab bocah itu malah kembali bertanya.

Elina membuang nafas kasar. "Bunda pulang kerja capek banget loh tadi. Eh sampe rumah malah liat Wira moodnya jelek. Dia gak mau ngasih tahu alasannya. Tapi, dia bilang kamu yang jahatin. Bunda gak suka ya sikap Naka yang kaya gini. Dulu belum pernah tuh buat adeknya nangis. Naka 'kan udah janji sama Bunda bakal jagain Wira.

"Kalau sikap Naka kaya gini terus, males banget nanti Bunda belain Naka kalau dimarahin Ayah!"

Cowok itu menunduk dalam. Ia kira Bundanya datang akan memberikan sebuah perhatian, Walau hanya sekadar menanyakan sudah makan apa belum. Rasanya senang sekali saat mendengar itu.

Tapi nyatanya, semua itu hanya angan-angan belaka. Tak ada lagi perhatian kecil sang Bunda. Tapi Naka berfikir, mungkin Elina benar-benar lelah hari ini.

Bocah itu tersenyum. "Naka minta maaf ya Bunda. Naka gak bakal nyakitin Wira lagi. Nanti Naka minta maaf deh sama Wira," ucap bocah itu. Tak berani membela diri, karena apapun alasannya, yang akan selalu disalahkan pasti ia.

Naka tahu, ini pasti soal Aira. Kenapa sulit sekali bagi dirinya mendapatkan secuil saja kebahagiaan. Ketika ia berusaha untuk mendapatkan itu, ada saja rintangannya. Ingin sekali Naka menyalahkan takdir. Tapi, ia tak sebodoh itu. menyalahkan takdir sama saja menyalahkan tuhannya. Karena sampai sekarang Naka masih percaya rencana tuhan akan indah pada waktunya.

Elina tersenyum walau terlihat terpaksa. "Iya, bagus kalau Naka ngerti. Gak papa 'kan kalau ngalah terus sama adeknya? Kamu tahu sendiri Ayah kamu protective banget sama Wira."

Bukan Naka jika tak mengangguki perintah sang Bunda. Walau hatinya memberontak kala mendengar itu. Kenapa harus dirinya yang selalu mengalah. "Iya bunda."

"Kamu udah makan? Kalau belum, masak sendiri aja ya. Bunda capek banget kalau harus masak lagi."

Naka mengangguk. Lagi lagi senyum tulus itu kembali terukir. "Bunda istirahat aja. Naka kalau lapar bisa sendiri kok."

Elina mengusak surai si sulung. "Yaudah Bunda tidur dulu." Perempuan itu membawa tubuhnya melangkah keluar. Sebelum ia kembali menutup pintu kamar anaknya, Elina kembali berucap, "Naka kalau kamu nggak capek, Bunda minta tolong bersihin rumah sama cuciin baju ya. Bunda pengen istirahat. Tadi di butik gak bisa istirahat sedikitpun soalnya rame banget."

Batinnya teriris, tak adakah yang bisa merasakan keadaannya saat ini. Bohong jika Naka tidak lelah sama sekali. Kegiatan disekolahnya tadi benar-benar menguras tenaga. Ditambah lagi setelah pulang sekolah ia berlatih basket. Kemudian pulang kerumah hanya sekadar mengganti pakaian, lalu bocah itu pergi ke tempat bimbel dan baru pulang jam setengah sepuluh malam.

"Kalau gak mau, gak papa kok. Biar nanti Bunda aja." Lanjut Elina, ketika Naka tak kunjung memberikan jawaban.

Naka cepat-cepat menggeleng kala mendengar kembali perkataan Elina. "Biar Naka aja, Bun. Nanti Naka kerjain."

Elina mengangguk. "Ya udah, Bunda ke kamar dulu."

Ketika pintu itu sudah tertutup rapat, Naka menghembuskan nafas lelah. Ia tak boleh terlihat lemah, walau tubuhnya saat ini sudah tak bisa dibilang kuat. Pening di kepalanya sedaritadi belum hilang, ditambah lagi perutnya yang seharian ini baru terisi sekali. Kakinya benar-benar lemas hanya sekadar untuk dibawa melangkah.

TANAKA [END]Where stories live. Discover now