17. Saga dan Luka

1.3K 165 17
                                    

"Terlalu lelah untuk sekedar mengeluh dan menangis."

***************

Hubungan seorang ayah dan anak selalu memiliki warna tersendiri. Berbeda dari satu sama lain, tergantung bagaimana kedua belah pihak menyikapinya.

Selama sebelas tahun, Saga masih memiliki pikiran baik bahwa Danu menyayanginya meskipun dengan cara yang berbeda.

Tapi saat mendengar bagaimana Danu memakai kata Saya bukan papa di dalam percakapan mereka terakhir kali membuat Saga menyadari. Bahwa sedari awal mereka memang orang lain. Hubungan mereka sejauh itu, dengan sebuah jurang dalam yang menjadi batas pemisah.

Sampai kapanpun Saga tak akan bisa meraih Danu. Danu hanya semakin melangkah menjauh, membiarkannya ketakutan di bibir jurang yang siap untuk membunuhnya.

Saga mengangkat wajahnya, mengepalkan tangan bersiap untuk mengetuk pintu rumah sederhana Nara. Tidak, Saga tak ingin mengeluh atau menangis. Ia hanya ingin mendengar gadis itu mengomel padanya seperti seorang ibu. Memukul lengannya, kemudian mengusak surainya.

Tapi tepat sebelum tangan itu berhasil mencapai, pintu sudah terlebih dulu terbuka. Raut wajah khawatir Irfan langsung menyambut wajah berantakan Saga.

"Tolong! Tolong putra saya!"

Saat mendengar getar di balik suara Irfan, Saga tak berpikir dua kali untuk mencari taxi online terdekat.

Pemuda itu membantu Irfan menaikkan Artha yang sudah tak sadarkam diri ke punggungnya. Saga menyambar payung, membuka benda itu dan menggunakannya untuk melindungi Irfan dan Artha.

Membiarkan tubuhnya kembali basah saat berlari ke ujung gang, dimana taxinya sudah menunggu.

"Dengan Mas Saga?"

Saga hanya mengangguk, memberikan uang seratus ribu dan membiarkan mobil itu membawa Irfan dan Artha menjauh.

Ia membeku untuk seperkian detik. Mengingat bagaimana sorot ketakutan terpancar di balik tatap Irfan. Tatapan seorang ayah. Saga bahkan sudah tidak ingat, kapan melihat tatapan takut kehilangan terpancar dari netra Danu.

Pemuda itu mengecek jam yang melingkar di tangannya, kemudian berlari menembus hujan menuju warung tempat Nara bekerja. Irfan mungkin terlalu kalut untuk dihubungi, tapi Nara harus mengetahuinya.

Saga terjatuh karena rasa pening yang kembali terasa. Ia melupakan tubuhnya yang penuh luka dan kesakitan untuk sejenak. Setelah mencoba mengatur nafas, Saga kembali berlari. Masuk ke dalam warung itu tanpa permisi, dan langsung menarik lengan Nara yang tengah mengambil piring kotor dari salah satu meja.

Nara tersentak, tangan Saga bergetar dan terasa sangat dingin. Netra gadis itu membulat kala melihat bagaimana keadaan Saga. Pucat pasi, penuh luka, dan mata memerah yang jelas sekali menahan sesuatu.

"Ga, lo kenapa? Ayo masuk dulu."

Nara berniat membawa Saga masuk ke ruang karyawan. Tapi laki-laki itu menahan tangan Nara sembari menggeleng. Bibir bergetar Saga mencoba untuk berucap membuat Nara menggenggam tangan itu lebih erat. "Lo kedinginan. Lo bisa kenapa-napa, Ga!"

"B-bukan gue. Tapi Artha."

Saga menekan bibir dalamnya, menahan rasa pening. "Dia pingsan, tadi bokap lo bawa ke rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

"Rumah Sakit Jantung, tempat biasa Artha periksa."

Nara mengangguk, gadis itu melangkah cepat. Melepas apron miliknya kemudian meminta izin pada sang ibu pemilik warung.

Take Your Time [Complete]Where stories live. Discover now