𝟏𝟐. 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐚𝐢

1.4K 175 4
                                    

Mika's PoV

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Mika's PoV

Gue sama Dhimas noleh ke belakang, ada Rafan yang nenteng kresek belanjaan.

“Lo ngapain disini?” tanya Dhimas yang wajahnya udah nahan marah.

“Lah, terserah gue dong mau dimana? Gue mau disini, di sawah, di rumah, di pantai selatan, kok situ yang sewot? Lo pikir semua tempat itu nenek moyang lo yang bangun?” jawab Rafan agak ngegas.

“Diantara ribuan minimarket yang ada, kenapa harus disini?!”

Rafan menatap Dhimas dengan sinis. “Diantara ribuan manusia munafik yang ada, kenapa harus nyari ribut sama gue?” tanyanya balik.

Dhimas diam, bergeming. Tangannya meremas kunci motor dengan erat, nahan marah.

“Jangan bilang kalo selama ini lo nyari ribut sama gue itu tanpa alasan?” Dhimas diam tak menanggapi Rafan. “Oh, atau lo masih dendam karena masalah itu?” tebak Rafan, membuat ekspresi tubuh Dhimas menegang.

“Fan, gue udah pernah bilang ke lo, kan, kalo gue udah lupain semua hal tentang itu? Gue udah move on dari masa lalu, jadi lo gak perlu ngungkit lagi.” Dhimas menatap Rafan penuh keseriusan.

“Terus, kenapa lo pergi? Apalagi kalo bukan karena hal itu? Lo mau kasih alasan apapun itu, nggak akan ada yang percaya. Lo udah dianggap pengecut, kabur dari masalah sepele.”

Dhimas berdiri. “Itu karena kalian semua nggak akan pernah paham sama keadaan yang gue hadapi!! Lo semua nggak pernah kasih gue kesempatan sekali aja buat jelasin semuanya!! Kalian semua sama aja!! Gak ada yang bisa diajak serius!!”

Ini pertama kalinya Dhimas terlihat benar-benar marah, bahkan mukanya sampai merah.

“Gue udah kasih lo kesempatan setiap saat buat ngejelasin situasi lo, tapi apa? Lo ngehindar dari gue! Apa itu yang namanya gak peka, hah?! Gue udah capek sama tingkah lo! Gue udah serius nungguin lo, tapi lo malah kabur kayak pengecut!” balas Rafan gak mau kalah.

Gue nggak tahu apa masalah mereka berdua dan gue nggak mau tahu. Bukan hak gue buat ikut campur sama urusan orang lain.

“Lo, muka dua.” Rafan tiba-tiba ngelirik gue dengan muka juteknya.

“Y-ya...?”

“Pulang sama gue.”

Dhimas menyela,“Mika nggak akan kemana-mana! Dia bakal sama gue disini! Siapa yang tau apa yang bakal lo lakukan ke dia, kemana lo bakal bawa dia, dan apa yang bakal terjadi selama gue nggak ada?”

Rafan berdecak kesal,“Terus, lo mau dia duduk disini, tengah malem berjam-jam nggak pulang, sementara lo nggak nyari bantuan buat apapun yang terjadi sama motor lo? Itu mau lo, iya?” respon Dhimas adalah kembali diam tak berkutik.

“Lo masih sama kayak dulu, nggak mikirin keadaan orang lain, egois. Yang lo pikir cuma diri lo sendiri,” ujar Rafan.

Dhimas tertawa sinis,“Kayak lo yang nggak aja. Justru wajar, karena setiap orang punya egonya masing-masing. Kita semua harus mikirin keadaan diri kita sendiri, sebelum mikir keadaan orang lain. Kalo lo paham dan punya otak, dengan lo memikirkan diri sendiri, lo pasti bisa ngerti perasaan orang lain. Lo nggak akan bisa paham perasaan orang lain kalo lo sendiri belum paham sama isi hati lo.”

MikailaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt