38. Dia Yang Menciptakan Jarak

1K 121 2
                                    

38. Dia Yang Menciptakan Jarak

Tok... tok... tok...

Anya membuka pintu ruangan Diandra setelah dipersilahkan.

"Maaf, Bu Diandra, Ibu di panggil Pak Xavier. Ditunggu di ruangannya sekarang." ucap Anya.

Deg! Mau apa lagi dia?

Diandra menetralkan ekspresi wajahnya, lalu tersenyum pada Anya. "Baik, makasih, Anya."

Dengan tenang Diandra keluar dari ruangannya dan menuju ruangan Direktur Utama yang posisinya hanya naik satu lantai dari tempatnya sekarang.

Diandra disambut oleh Viktor, sekretaris Xavier. Setelah dipersilahkan masuk, Viktor membukakan pintu untuk Diandra dan menutupnya.

Xavier menatap Diandra yang masih berdiri di depan pintu ruangannya. Ada perasaan yang tidak dapat diungkapkan. Namun sejujurnya dia sangat ingin memeluk gadisnya itu.

"Di..."

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Diandra spontan.

Sejujurnya dia tidak sanggup mendengar Xavier memanggil namanya dengan nada lirih. Baginya sekarang adalah waktu jam kerja, seperti dirinya pada Anya, dia harus tahu batasan.

Xavier tidak menjawab pertanyaan Diandra. Matanya terus fokus pada sosok Diandra mungilnya itu. Dia rindu menggenggam tangannya, dia rindu membelai rambutnya, dia rindu menyentuh bibirnya, dia rindu memeluk tubuhnya.

"Di, apa kabar?" tanya Xavier.

Diandra terdiam. Berusaha agar tidak emosional.

Mendengar Xavier yang tiba-tiba muncul dan menanyakan kabarnya seperti tidak terjadi apa-apa membuat hatinya tidak karuan.

"Kabar saya baik, Pak." ucapnya lembut. "Maaf, Pak, kalau memang tidak ada yang ingin dibicarakan, boleh saya kembali ke ruangan? Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan sekarang juga."

Karena Xavier tidak menjawab, Diandra akhirnya keluar dari ruangan Xavier. Dia pergi ke toilet dan masuk ke dalam salah satu bilik. Tangisnya pecah saat itu.

"Pak Xavier ganteng banget ya. Kira-kira udah nikah belum ya?"

"Kayaknya belum deh. Tapi pasti seleranya tinggi banget. Gak bakal ngelirik yang kayak kita gini."

"Tapi rumornya dia punya tunangan tau."

"Oh ya?"

"Iya, cuma gak tau juga deh. Paling kalo kayak kita gini cuma bisa mandangin dia sambil halu."

"Ah, bener juga lo! Eh udah yuk, ntar kita di marahin Pak Anton kalo ketauan lagi ngerumpi di toilet."

Iya. Xavier pria-nya yang dulu itu memang masih tampan sampai sekarang. Bahkan posisinya yang sekarang sangat mampu menghasut karyawatinya untuk langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi mengapa di bagian punya tunangan tadi membuat hatinya sakit.

Sementara Xavier yang menyadari kalau Diandra yang sekarang seperti menghindarinya terlihat kesal.

"Bro, ini lu kalo sampe nyia-nyiain Diandra, lu tau kan berapa banyak tangan yang bakal ngerebut dia dari lu?"

Hah! Dia sangat kesal kalau ingat kata-kata Edo. Dia juga kesal kalau ingat betapa Erland sepertinya ingin mengambil hati Diandra kembali.

Xavier juga sangat kesal setiap mendapat laporan dari Viktor.

X : pria bernama Davin datang ke rumah Miss D. Terlihat memberikan bungkusan kecil, diduga vitamin
X : Erland makan siang dengan miss D
X : miss D bertemu Edo di jogja
X : miss D terlihat jalan bersama pria di Samarinda, saya belum pernah melihat pria ini sebelumnya

Flashback...

Pagi itu, Xavier bangun dari tidur panjangnya. Suster yang selalu berjaga dan mengecek kondisi Xavier terkejut dan segera memanggil Dokter.

Seminggu kemudian, Xavier di nyatakan sembuh dan dapat pulang dari rumah sakit, namun seminggu tiga kali dia harus kontrol mengingat tubuhnya yang sudah lama tidak digerakan karena berbaring lama.

Setelah dinyatakan benar-benar sehat, Xavier berusaha keras mengejar ketinggalannya selama ini. Dia kuliah S2 sambil belajar tentang beberapa bisnis orang tuanya. Bahkan Xavier mulai mengambil alih proyek hotel yang harusnya ditangani dari awal.

Satu tahun kemudian, Xavier lulus dengan cepat, dan mulai menguasai seluruh bisnis orang tuanya.

Dia sengaja mengirim Viktor untuk memantau perkembangan Diandra selama dia disana.

Flashback off...

Xavier sengaja tidak memberitahu Diandra soal dirinya agar Xavier dapat segera menyelesaikan urusannya di Jerman dan memberi kejutan untuk Diandra. Tapi tak disangka, dia dapat mengejutkan Diandra dan mengejutkan dirinya sendiri.

Ternyata respon Diandra tidak seperti yang diharapkan. Setelah berpikir cukup lama, dia tahu selama ini dia salah. Dia yang menciptakan jarak antara dirinya dan kekasihnya itu. Dia yang membuat Diandra kecewa. Bahkan dia sendiri tidak dapat menjelaskan apapun pada kekasihnya itu.

Namun sepertinya dia tidak bisa diam ditempat kalau ingin Diandra kembali padanya. Sekarang ada Erland yang mungkin posisinya lebih unggul darinya. Dia harus bersaing sehat pada sahabatnya, lagi!

* * *

Malam itu, di sebuah lapangan basket daerah Senayan, Erland menemukan sosok yang mengajaknya bertemu untuk sparing. Tentu saja selama ini dia kehilangan partner sparing yang paling membuatnya selalu berusaha ingin menang.

Saat Erland tiba, Xavier sedang melakukan pemanasan kecil. Erland berdiri di sebelahnya dan ikut melakukan pemanasan.

"Kangen lu maen basket sama gue, Bro?" tanya Erland di sela-sela gerakannya.

"Kangen lah!"

"Belum nemu lawan yang jago kayak gue?"

"Mana sempet gue main basket disana."

"Kenapa lu balik?"

"Karena gue emang harus balik. Setengah hati gue ketinggalan disini."

Erland tersenyum remeh. Lucu pikirnya.

"Lu inget gue pernah bilang apa sama lu?"

"Yang mana dulu nih?"

"Kalo lu sampe ninggalin Diandra, gue sendiri yang bakal ngerebut dia dari lu."

"Gue inget!"

"Masih santai?"

"Diandra masih cinta sama gue."

"Yakin banget lu."

"Karena kalo dia udah gak cinta sama gue, dia pasti sekarang udah punya pacar buat gantiin posisi gue. Selama dia belum punya, gue anggap gue masih ada di hati dia."

"Diandra lagi nunggu ketemu lu buat akhirin semua, Bro!"

Deg! Kenapa satu kalimat kecil barusan membuat Xavier sakit. Apa benar seperti itu? Atau memang keinginan sahabatnya saja.

Selesai pemanasan, permainan basket 1 on 1 mereka di mulai. Mereka masih tidak berubah, selalu imbang. Score mereka berdua tipis. Lama kelamaan permainan mereka semakin sengit, hingga berujung emosi. Karena sebenarnya banyak yang harus mereka bicarakan dan mereka selesaikan.

Beberapa kali Xavier melakukan foul pada Erland. Begitu juga Erland. Hingga yang terakhir, Erland membanting bola basket yang sedang ada ditangannya dan mendorong Xavier, bahkan dengan cepat memukul wajah Xavier. Xavier membalas pukulan Erland, hingga mereka menjadi gelut. Tidak ada yang memisahkan. Sampai mereka puas, sampai tenaga mereka habis. Hingga akhirnya mereka berdua terbaring di lapangan basket, menatap langit yang gelap, menahan rasa sakit, sekaligus lega karena emosi mereka berdua tersalurkan, namun setelahnya tak ada dendam. Begitulah pria.

* * *

Me And The Six PrinceWhere stories live. Discover now