39. Kesempatan

1K 123 2
                                    

39. Kesempatan

"Selamat pagi, Anya." sapa Diandra pada asistennya yang datang lebih dulu.

"Pagi, Bu Diandra. Bu, ini ada bingkisan untuk Ibu." kata Anya sambil memberikan paper bag coklat.

"Dari siapa?"

"Pak Xavier."

Diandra yang cukup kaget memberi isyarat pada Anya untuk mengecilkan volumenya. Dia meraih paper bag dari tangan Anya dan mengajak Anya masuk ke dalam ruangannya.

"Karena saya ingin menghargai pemberian orang lain, tapi saya kesal dengan orang ini, jadi kita sarapan bareng -bareng aja ya. Kamu mau, kan?"

Anya mau tidak mau menerima ajakan atasannya itu.

"Anya, mungkin kamu bertanya-tanya ada hubungan apa antara saya dengan Xavier. Karena kamu udah saya anggap sebagai adik saya, saya mau cerita ke kamu. Tapi kamu janji untuk keep ini sendiri."

Anya mengangguk.

"Xavier itu... hubungan kami gak jelas." ujar Diandra. "Yaaa... dulu kami pacaran, hingga suatu ketika dia meninggalkan saya, dia ke Jerman dalam keadaan koma, saya menunggu kabar, tapi gak pernah ada kabar. Tiba-tiba dia datang dengan menjadi Dirut disini, kalo kamu jadi saya rasanya gimana?"

Anya tidak tahu harus menjawab apa. Disatu sisi dia merasa kesal dengan Dirutnya itu dan ingin menghakiminya, di sisi lain dia takut salah menjawab pertanyaan Diandra.

"Saya tidak mungkin tegar seperti Bu Diandra. Kalau saya jadi Ibu, saya udah pasti ninggalin Pak Dirut, Bu. Ibu gak pernah tanya apa alasannya?"

Diandra menggeleng, "Hal pertama yang dia tanyakan ketika bertemu saya adalah kabar saya. Dia gak ngasih penjelasan apa-apa." Dianda memakan suapan terakhirnya. "Ini salah satu sogokan. Untuk apa, saya juga tidak tahu."

"Tapi saya yakin, Pak Xavier dulunya sangat mencintai Bu Diandra. Sampai sekarang mungkin."

Tiba-tiba telepon meja Anya berbunyi. Anya pamit untuk mengangkat teleponnya, sesaat kemudian dia memberitahu manajernya itu kalau Xavier memintanya untuk keruangannya.

Sebenernya mau sampai kapan dia seperti ini? Gimana bisa move on kalo ketemu terus! Gerutu Diandra dalam hati.

Namun begitu terkejutnya dia melihat wajah Xavier yang lebam.

"Xav, kamu kenap..." Diandra yang tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya itu menghentikan kalimatnya. Itu bukan urusannya lagi. "Pak Xavier, ada yang bisa saya bantu?"

"Terus khawatirin aku bisa, Di?"

"Maksud Bapak?"

"Boleh saya minta tolong kamu untuk obatin luka di wajah saya?"

Niat kamu sekarang apa, Xavier? Tanya Diandra dalam hati. Dia melirik kotak p3k di atas meja kerja Xavier.

"Gimana kalau Viktor yang obatin luka Bapak?"

"Viktor tidak bisa melihat luka."

"Atau saya panggilin Dokter?"

"Karyawan disini tidak tahu tentang luka di wajah saya, kalau panggil Dokter rasanya terlalu heboh."

Diandra mengalah. Dia mendekati meja Xavier dan mengambil kotak p3k.

Deg... deg... deg...
Bunyi jantung Diandra yang berisik itu membuat pikiran Diandra terbang tak karuan. Dia takut Xavier yang tepat berada di depannya itu mendengar.

Kalau dengan cara ini kamu bisa sedekat ini sama aku, aku rela di pukulin Erland terus, Diandra. Ucap Xavier dalam hati. Matanya tak lepas dari Diandra, membuat gadis itu salah tingkah.

Me And The Six PrinceUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum