[HTMO] 15 - position

558 108 51
                                    

Bullshit sama semua hal tentang perjodohan. Pria itu merasa diremehkan oleh kedua orang tuanya. Bukan karena tidak bisa mendapatkan seorang wanita, hanya dengan menyisir rambutnya kebelakang dengan jari jemari lentiknya itu, Dinan bisa membuat hati semua wanita luluh dengan mudahnya.

"Gue harus bilang apa sama Mamih lo?!" Decak Biya. Dandanannya udah rapih dan terlihat feminim menggunakan rok selutut dan kemeja panjang polos berwarna biru. Senada dengan kemeja Dinan, katanya sih biar kelihatan lebih matching sebagai couple.

"Bilang kalo kita udah pacaran 3 tahun."

"3 tahun? Gila ya lo? Gue baru kerja sama lo aja 3 minggu." Decak Biya tak habis habisnya menggerutuki pacar pura puranya itu.

"Penawaran gue nggak berlaku lagi kalau lo pergi."

Iya, maksudnya penawaran yang kemarin.

Biya itu meminta sesuatu yang bisa dibilang mustahil dan gak profesional ke Dinan. Dia minta pekerjaanya dipercepat dan kalau bisa dihandle sama orang lain yang kemampuannya setara dengan Biya. Biya nggak sanggup hidup sendiri di Bali. Biya sering ngerasa kesepian walaupun temen kantornya juga nggak cuek cuek banget sama dia. Tapi Biya minta itu, sedangkan Dinan menyanggupinya.

Dinan menyanggupinya dengan syarat.

Biya harus mengaku menjadi pacar pura puranya Dinan selama batas waktu yang ditentukan. Terlihat nggak profesional memang diantara keduanya. Tapi yang mengelola penuh kantor cabang itu adalah Dinan, jadi dia berhak menentukan untung pergi atau tinggal.

"Di sebelah meja yang paling ujung ya kak." Suruh seorang pelayan disana kepada mereka. Rupanya orang tua Dinan memang sudah memesankan tempat untuk mereka berempat.

"Parfum lo wangi." Puji Dinan, soalnya lelaki itu sedaritadi nggak jalan lebih dari satu langkah perginya kaki Biya. Dia berjalan di belakang atau beriringan sama Biya.

Biya memudarkan pandangannya, justru dia yang sangat gugup saat ini. "Gue nerves."

"Biasa aja, kaya ketemu calon mertua beneran."

"Ya tapi kan gue belum pernah."

"Ya makanya ini gue siapin ajang latihan."

Biya hanya melipat kedua tangannya di atas meja, menangkupkan keseluruhan wajah cantiknya disana. Biya sebelumnya dirias selama sejam di salon, padahal dia udah nolak dan bisa dandan sendiri, sedangkan Dinan itu cowok gengsi yang bakal malu banget kalo gandengannya tuh nggak cakep.

"Gue udah cantik?" Tanya Biya. Dengan segala keteraturan tarikan nafasnya perlahan. Dia mulai stabil dan gak grogi.

"Iya. Lo cantik."

Cuma kalimat itu aja yang saat ini kepingin Biya dengar dari mulut Dinan. Untung saja manusia itu bisa diajak berkompromi dengannya, atau memang itu adalah sebuah fakta yang sebenarnya.

"Assalamuallaiku, Aa"

Itu Mamihnya Dinan yang datang dengan pakaian lengkap, berhijab juga dan hijabnya cukup panjang. Biya merasa agak malu dengan tampilan yang dipakainya sekarang.

"Waalaikumsalam Mamih." Dinan menyalami Ibu kandungnya terlebih dahulu, kemudian disusul Biya.

Biya baru menangkap kalau Dinan itu rupanya sama seperti dia, seorang muslim, karena mungkin tinggal di Bali cukup lama, justru Biya nggak notis sama sekali saat Dinan pergi buat keluar siang bolong di hari Jumat.

"Kak, kamu islam?"

Bola matanya Dinan sekarang jadi mau copot sebelah. Padahal tadi mereka udah diskusi dulu bahwa mereka udah pacaran sama 3 tahun. Dan nggak lucu lagi kalau nanyain tentang ini di depan orang tua Dinan, bisa bisa Mamihnya nggak percaya.

How to Move on ─ TaeyongWhere stories live. Discover now