[HTMO] 22 - Unconscious Feeling

459 91 33
                                    

Masih dalam suasana duka selama tujuh hari berlalu. Keluarga sedikit demi sedikit mulai bisa menerima kepergian Aira yang bisa dibilang belum saatnya. Tapi tak ada yang tahu saat Tuhan memberi kehendak-Nya. Tara maupun Dave beserta keluarga yang lain sudah ikhlas melepas Aira untuk perjalanan kehidupan selanjutnya yang akan dia tempuh. Tara juga berharap, semoga Aira dapat berbahagia di tempat yanga baru.

Sudah seminggu ini Dave sangat menempel pada Biya. Dia menggunakan bau tubuh Biya untuk dapat mengingat sang Mama. Tak banyak yang dapat Biya lakukan selain menemani hari - hari anak itu selama dia bisa. Kasih sayang Biya pada keponakannya itu dapat Tara rasakan. Begitu tulus dan jujur. Sedikit rasa sejuk menerpa dirinya di kala kondisi kesedihan yang dia rasakan saat ini.

Tara membuka video - video instagram milik istrinya. Menemukan cukup banyak kenangan - kenangan yang dia simpan disana. Yang paling banyak tentang kenangan anak pertama mereka saat lahir.

Aira selalu mem-videokan saat saat dimana Dave yang saat itu masih di kandungannya. Lincahnya sang jabang bayi, mulai dari menendang, mengganggu Mamanya saat tidur, ataupun memberikan reaksi saat Ayahnya menyanyikan sebuah lagu.

Tanpa sadar air mata tercetak lagi di pipi Tara. Dia tersenyum dengan wajah sendu, beriringan dengan bening mengalir deras dari kedua matanya. Bagaimanapun, Aira adalah salah satu kenangan terindah untuknya. Yang tak bisa dia lupakan dengan mudah. Tara selalu mengupayakan untuk mencintai wanita itu, entah mungkin saat dia merasa kehilangan.. Aira baru saja mendapatkan cinta yang tulus dari suaminya.

"Mungkin, saat kita sudah merasa kehilangan, kita baru mengerti," monolognya. Tara menaruh telepon genggamnya di atas meja. Dia memejamkan mata sebentar. Matanya terus menghitam sepanjang hari. Tak bisa dipungkiri, Tara masih terpukul atas kehilangan istrinya.

"Mas."

Biya membangunkannya. Tara menghapus sebentar jejak bening matanya yang menyisa. Segera dia posisikan duduknya seperti semula. Biya terlihat membawakan teh hangat dan dia letakkan di atas meja di samping ranjang tidur.

"Mas ngga apa apa?" Netra Biya menangkap, masih banyak kesedihan, kehilangan, serta duka yang mendalam yang tara sisihkan di raut wajahnya.

"Bohong kalau aku jawab gapapa." Singkatnya. Biya menyodorkan teh hangat itu untuk Masnya. Awalnya Tara menolak, tapi Biya memaksa, akhirnya dia meminum teh hangat buatan Biya. Biya begitu khawatir akan kondisi Tara. Seminggu ini dia tak pernah lihat Tara makan, terkecuali jika Tara makan bersama Dave, dan kemudian Dave akan menyuapi Ayahnya. Kebiasaan Dave adalah, orang yang menyuapinya harus ikut makan bersamanya.

"Mas."

Biya mengelus punggung Tara pelan. Punggung kuat itu terlihat sangat rapuh, tidak terlihat, namun bisa dia rasakan. Biya menyendu saat Tara menghapus jejak air matanya yang berusaha dia sembunyikan. Tara cukup tegar, tapi tidak setegar kelihatannya. Dia cukup kuat menahan semua itu, sampai akhirnya..

"Mas kalau mau nangis, nangis aja sama Biya. Mas kalau kangen Kak Aira, Mas boleh peluk Biya, Mas kalau butuh sesuatu bisa panggil Biya. Apapun yang bisa meredakan rasa sedihnya Mas Tara, Biya akan coba lakukan, semuanya buat Mas."

Tara terisak di pundak gadis itu. Dia menangis di pundak Biya. Memeluk gadis itu dengan erat. Mencium bau tubuh adik iparnya, yang jelas jelas wangi mereka cukup berbeda sebagai seorang saudara. Tapi Tara dapat merasakan sentuhan yang Biya berikan, itu juga sentuhan yang Aira beri untuknya.

"Mas masih punya aku sama Dave, nggak usah sedih sedih lagi, kalaupun nanti Dave tanya sama Mas, nanti kita jelasin pelan pelan ya Mas." Ucap Biya perlahan. Sementara itu Tara masih terisak keras di bahu Biya.

"Mas itu kepala keluarga, Sekarang Kak Aira nggak ada, jadi Mas harus punya peran double jadi seorang Ayah, cari uang, sama ikut membesarkan serta mendidik Dave."

How to Move on ─ TaeyongWhere stories live. Discover now