[HTMO] 25 - Quit

405 96 41
                                    

"Before you quit, remember why you started."


Sepasang cokelat panas sudah tersedia di ruang tamu, yang satu penuh dengan air panas, cokelat satu lagi terisi air yang lebih sedikit dan teksturnya terlihat mengental dari cangkir yang ada tepat disebelahnya. Uap hangat menguarkan harum cokelat yang manis dan membuat siapapun yang menyesapinya menjadi candu atas aroma manis itu.

Dinan mengangkat satu cangkir yang ada di depannya bersama dengan tatakan cangkir mungil itu. Miliknya memiliki air panas lebih banyak dari gelas yang sebelahnya.

Sisa remasan tisu berserakan di antara mereka.

Tercetak bekasan wajah Biya yang usai menangis di pundak Dinan. Tapi kini mereka sudah sama sama lebih tenang, terutama Biya.

"Aku malu."

Rintih Biya, dia meremas lagi kuat kuat tisu yang ada di genggamannya. Membuang tatapan itu jauh jauh, sesungguhnya dia benar benar tak tahu .. di mana letak persis wajahnya berada.

Tak ada celah, tapi tak rapat juga. Begitulah posisi duduk Biya dan Dinan. Rekatan itu perlahan melepas saat Biya jadi lebih tenang beberapa saat. Mungkin dia tahu, Dinan tak punya baju ganti .. karena kini baju lelaki itu basah dan lusuh olehnya.

Dinan melirik kilas rambut rambut tipis yang berjatuhan dan membelainya perlahan, dia ingin melihat wajah itu tanpa guliran air mata yang terjatuh sedari tadi.

"Apakah mencintai itu sebuah kejahatan?"

Biya mengangkat kepalanya setengah. Dinan menjadi atensinya sekarang setelah Dinan menguraikan sebuah bentuk kalimat yang cukup menggentarkan untuknya.

"Kamu nggak perlu minta maaf, kalau kamu bisa mencintai seseorang,"

"orang itu memberikan kamu satu titik nyaman di hatinya."

Tatapan gusar melingkupinya, pada kenyataanya Biya tidak setuju atas semua pengutaraan lelaki itu. Karena terdapat semua fakta yang tidak bisa dia terima, oleh nalar maupun takdir semesta.

"Buat apa dia kasih sebuah rasa nyaman, sedangkan kenyamanan seutuhnya dia ada di diri orang lain?
Kamu tahu .. aku suka sama suami kakakku sendiri,"

"Kamu bahkan tahu sendiri, kamu hanya nggak bisa kontrol." Intonasi Dinan cukup tenang dan mencoba menetralkan Biya yang tergesa mengucapkan kalimatnya.

"Kontrol? kamu bisa kontrol kalo kamu lagi mencintai seseorang? Apakah seorang suami istri bisa mengurangi atau melebihi kadar rasa suka mereka? Enggak!"

"Gimana kamu tau kamu bisa jadi bagian dari dirinya?" Tanya Dinan cukup menantang. Biya mengalah.

Karena pada dasarnya, dia cukup mengerti, dia masuk ke dalam satu hubungan yang sudah terdiri dari sepasang insan yang sudah saling terhubung atas nama pernikahan.

Biya menggeleng. Mencoba membersihkan semua keraguannya, serta kenyataan yang tersisa.

"Kalau kamu ngerasa itu adalah satu hal yang salah, kamu jangan mau cari alasannya, kenapa."

"Karena di dunia ini ada banyak hal yang nggak harus kita tau jawabannya."

"Beberapa jawaban itu bisa menyakitkan dan membunuh raga kita secara perlahan, mengungkit kedalamannya nggak cukup satu kali, dua kali atau berkali kali."

"Yang bikin kamu cinta sama dia, karena kamu selalu mencari alasan, kenapa kamu bisa mencintainya sesulit apapun kamu berjuang."

Biya mengenggam tangan satunya yang lain. Mencoba menguatkan dirinya, sekuat apapun dia mencoba. Pada kenyataanya, bukan cengkraman tangannya yang menggetar. Namun hatinya yang tak imbang mendengarkan apa yang Dinan katakan sebelum maupun setelahnya.

How to Move on ─ TaeyongWhere stories live. Discover now